Mereka menjerit tanpa suara. Memendam tangis dalam sunyi. Menahan perih lebam di hati. Jiwa mereka rapuh, sebagian hancur dalam fragmen-fragmen imajiner. Satu kata sakral meluruhkan pertahanan mereka dengan dramatis; cinta. Mereka terisak meratapi garis takdir. Mengubur diri bersama asa. Menyisakan memori berupa jejak kepedihan. Hati mereka remuk, nyaris koyak tak berbentuk. Dua kata pilu mengakhiri kisah mereka dengan tragis; selamat tinggal. Lewat aksara mereka mengadu. Berharap angin membawa kepahitan ini terbang jauh.

"Selamanya, aku akan selalu jatuh cinta pada keelokanmu, Senja."

Selama ini, aku bertahan karena aku percaya. Tapi, apa jadinya jika aku sendiri mulai ragu? Aku percaya kamu akan menepati janjimu. Tapi, sampai kapan kamu bisa bertahan? Dan apakah janjimu juga bisa bertahan? Akan ada saatnya dimana aku bertanya-tanya, pergi kemana semua mimpiku? Tiba-tiba aku merasa ditinggal, dicampakkan. Aku pun hanya bisa diam, dan bukan pula saatnya aku mencari. Aku hanya lebih baik untuk tidak bertahan. Kapan saatnya bertahan dan menyerah, adalah sama membingungkannya dengan penyesalan dan penerimaan.