Malam itu, hujan turun tanpa permisi. Rinaya berdiri di depan jendela, mengenakan gaun tidur tipis yang dibelikan Damar seminggu lalu. Gaun itu seperti bayangan kabur-tidak menutupi, tidak pula membuka secara terang-terangan. Ia tahu, Damar memerhatikannya dari balik ranjang. "Dingin?" suara berat itu terdengar dari arah tempat tidur. Rinaya tak menjawab. Ia hanya menoleh sekilas, lalu berjalan perlahan ke arah suaminya. Setiap langkahnya seperti sengaja diperhitungkan, membuat suara jantung Damar tak lagi teratur. "Aku tak suka dingin..." gumam Rinaya lirih, sebelum akhirnya menyusup ke dalam pelukan pria itu. Damar menarik tubuhnya, membiarkan kulit mereka saling menyentuh tanpa penghalang. Tidak ada kata yang lebih tepat dari 'hangat'-bukan karena selimut, tapi karena desir perasaan yang tak bisa lagi ditahan. "Bilang padaku... kamu hanya milikku." bisik Damar, menekan keningnya ke leher Rinaya yang mulai berembun. Rinaya mengangguk, membalas bisikan itu dengan gumaman kecil, "Aku... selalu milikmu." Pelukannya berubah jadi cengkeraman lembut. Nafas mereka bertaut. Dan malam pun mencair seperti lilin yang menyentuh api. Bukan sekadar gairah, tapi ada rasa saling memiliki yang terlalu dalam untuk sekadar diucap. Mereka bicara dengan kulit, dengan tatap, dan dengan napas yang memanas. Hingga tak ada lagi suara, kecuali detak jantung dan rintik hujan yang seakan mengiringi kisah cinta dua manusia yang mencoba menyembuhkan luka dengan cinta.