AnimonLaut
- Reads 172
- Votes 58
- Parts 10
"Lo tahu gak, waktu kecil gue mikir jadi ilmuwan itu keren. Jas putih, lab steril, kayak di film."
"Terus?"
"Terus sekarang gue ngaduk lumpur di bawah tandon air bekas, sambil ngecek vaksin yang bahkan belum tentu mujarab. Sial."
Mahasiswa itu ketawa pendek, sambil ngerapihin jaket tambalan di pundaknya.
"Lo kira kerja sambilan gue lebih mulia? Gue tadi pagi ngangkut mayat ke krematorium karena staf medisnya kabur."
Ilmuwan itu nengok. Nggak ada tawa. Tapi mata mereka saling ngerti.
"Sialan, ya hidup."
"Banget."
Mereka duduk di belakang truk bekas logistik, makan mie rebus yang airnya masih bau alkohol pembersih.
"Lo masih waras?"
"Secuil."
"Sip. Simpen itu baik-baik. Jangan mati dulu. Dunia ini masih perlu orang kayak lu, walau nyebelin."
"Gue juga. Lo doang yang tau cara kalibrasi alat yang meledak kemarin."
Mereka saling tatap sebentar.
Lalu si mahasiswa lempar sendok plastik ke arahnya.
"Lo bau banget, sumpah. Kayak karung beras kebakar."
"Biarin. Yang penting gua pinter."
"YAK. Itu dia penyakit lu."
Mereka lanjut makan, di tengah malam yang sepi, di kota yang udah gak pernah benar-benar tidur. Gak ada pelukan. Gak ada air mata. Tapi kalau besok salah satu dari mereka lenyap, yang satu lagi bakal nyari, sampai ketemu... atau ketemu mati.