uciha39
Aku terpaku terdiam diri di balik sakitnya hati ini. Suara gemuruh riuh perdebatan Ayah dan Bunda kembali menusuk telinga dan ragaku. Nada, adik kecil yang sedari tadi tertidur lelap seketika terbangun dan menangis sejadi-jadinya. Aku bimbang, antara memilih egoku yang tetap diam atau menenangkan adik perempuanku.
Suara bentakan dan pukulan itu hampir setiap hari aku dengar dan saksikan. Aku tau, seberapa tersiksanya Bunda menjalani hidup dengan Ayah. Maka dari itu, aku selalu minta Ayah dan Bunda untuk pisah. Tapi, Bunda selalu sembunyi di balik kata "kasihan anak". Padahal, kita sebagai anak merasa lega kalau Nunda bebas dari makian dan siksaan Ayah.
Pagi ini dengan kabut yang sejuk aku terbangun dengan perasaan hampa. Aku berjalan menyusuri ruang tengah menuju dapur untuk melihat sarapan yang dibuat Bunda. Tetapi, yang ku lihat hanya barang-barang yang berserakan sisa pertengkaran Ayah dan Bunda semalam.
Aku berlari menuju kamar Bunda, dan aku tidak menemukannya di sana. Seluruh ruangan di rumah ku datangi, tetapi tidak ada yang ku temukan. Bunda kemana? Ini masih jam 6 pagi, masa iya sudah pergi ke kantor?
Aku siap-siap menuju sekolah meninggalkan rumah yang seperti kapal pecah dengan tenaga yang tersisa setengah porsi. Aku menghubungi Bunda tapi tidak satupun telepon yang beliau angkat.
Saat pertengahan jalan, ada telepon masuk, yang ternyata dari Bunda.
"Kak, Ayah dan Bunda pisah."
Deg.
Hatiku hancur sekaligus lega mendengar pernyataan bunda pagi ini. Aku tidak bisa menjawab sepatah katapun dan memilih untuk mematikan telepon dari Bunda.
Persidangan Ayah dan Bunda akan terjadi di hari Sabtu ini. Apakah Aku akan kuat menjalani hidup setelahnya? Atau aku terus-terusan memendam rasa di balik diam?