aylavv_u
- Reads 4,830
- Votes 252
- Parts 67
Hidup tak selalu memberi pilihan. Kadang, ia menyeret seseorang ke arah yang tak pernah ia bayangkan. Begitu pula dengan Luna Grishma Arkatama.
Sudah hampir setahun sejak cincin pernikahan melingkar di jari manisnya. Namun tak ada cinta, bahkan tidak juga penerimaan. Suaminya, pria yang seharusnya kini menjadi tempatnya berpulang, justru menatapnya seolah Luna adalah hukuman yang harus ia jalani.
Luna tinggal di kamar bawah, tepat di seberang kamar pria itu, suaminya. Mereka tak berbagi ranjang, bahkan tak berbagi meja makan. Tapi Luna tetap bertahan. Bukan karena cinta, bukan karena harapan akan kebahagiaan seperti dongeng, tapi karena rasa bersalah yang tak kunjung reda. Karena ia tak ingin melihat Kenzo, kakaknya, sahabatnya, penjaganya, harus menanggung kesalahan seorang diri.
Setiap pagi Luna bangun lebih awal untuk memastikan suaminya mendapatkan sarapan, obat, dan kebutuhan lainnya. Tapi setiap perhatian itu dibalas dengan tatapan dingin, atau bahkan kata-kata tajam yang menusuk hatinya. Sekali waktu, ia mencoba menawarkan bantuan, hanya untuk diusir dengan kasar.
"Jangan sentuh aku. Aku bisa sendiri. Aku tidak butuh istri yang terpaksa menikahiku karena rasa bersalah," katanya suatu pagi, dingin dan getir.
Namun Luna tetap diam. Ia tidak menangis, tidak juga membantah. Ia hanya menggenggam erat buku catatan kuliahnya, menguatkan diri, lalu berbalik pergi. Ia tahu, luka di hati pria itu belum sembuh. Sama seperti lukanya sendiri, yang kini perlahan ia pelajari untuk dijahit sendiri.
Kini, saat kuliahnya memasuki semester empat, Luna mulai memahami bahwa hidup yang ia jalani bukan sekadar menebus kesalahan orang lain. Tapi tentang bagaimana ia bisa berdiri, sekalipun cinta dan penerimaan tidak datang dengan mudah.
Dan di sanalah kisahnya bermula. Dalam sunyi, dalam luka, dalam sepi yang membungkus rumah mereka, ada harapan kecil yang mungkin saja tumbuh... jika keduanya bersedia membuka hati.