[COMPLETED] "Lo... nggak kerja hari ini?" tanya Tee, mencari topik pembicaraan. "Gue ambil cuti seminggu," jawab Dew sambil mematikan kompor. Dia memindahkan nasi goreng dari wajan ke dua piring. "Kita juga." "Hah? Kita?" Tee mengerutkan kening. Dew menoleh, menatapnya dengan ekspresi geli. "Ya, kita. Lo pikir gue bakal ngebiarin lo kerja sehari setelah kita nikah? Gue udah urus izin cuti lo ke bos lo."

[COMPLETED] Duniaku memiliki sebuah matahari, dan matahari itu bernama Dew Jirawat. Ini mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitulah adanya. Aku tidak ingat kapan tepatnya aku mulai menjadikan Dew sebagai pusat rotasi dalam hidupku yang membosankan ini. Mungkin saat semester pertama, ketika aku, sebagai mahasiswa baru yang tersesat, secara tidak sengaja masuk ke auditorium dan melihatnya di atas panggung untuk pertama kalinya. Dia sedang melakukan sound check dengan band-nya, memegang sebuah gitar listrik berwarna biru tosca yang terlihat begitu menyatu dengan dirinya. Saat itu, dia tidak sedang bernyanyi, hanya memetik beberapa senar, tapi cara dia memejamkan mata dan membiarkan melodi itu mengalir dari jemarinya... saat itulah aku tahu aku dalam masalah besar.

[COMPLETED] Jantung Tee berdebar begitu keras. Jadi... Dew menyadarinya. Ia menyadari ketiadaan bekal itu. Selama ini, Dew mungkin tidak pernah mengucapkan terima kasih, tapi ternyata ia sudah terbiasa dengan kehadiran bekal itu. Kehadiran Tee. Dew menutup pintu lokernya, tapi ia tidak langsung pergi. Ia berdiri diam di depan lokernya selama beberapa saat. Pandangannya menerawang ke koridor yang ramai, seolah sedang berpikir keras. Apa yang ia pikirkan? Apakah ia kesal? Kecewa? Atau hanya sekadar bingung? Tee tidak bisa menebaknya. Tapi ekspresi itu... ekspresi itu adalah sebuah reaksi. Dan setelah lima tahun diabaikan, sebuah reaksi sekecil apa pun terasa seperti sebuah kemenangan besar.

"Emangnya gue bisa, toh masa lalu sellalu jadi pemmangnya." - Tee

[COMPLETED] "Kalau gitu, gue boleh minta hadiah?" bisik Dewa. "Hadiah apa?" "Hadiah karena udah berhasil bikin pacar gue nangis bahagia." Tanpa menunggu jawaban, Dewa menundukkan wajahnya. Perlahan, sangat perlahan, ia mendekatkan bibirnya ke bibir Tian. Ciuman itu dimulai dengan sentuhan yang begitu ringan, nyaris seperti kepakan sayap kupu-kupu. Lembut dan penuh perasaan. Tidak ada tuntutan, tidak ada gairah yang terburu-buru. Hanya ada cinta yang murni dan dalam. Rasanya seperti cokelat panas dan angin malam. Manis, hangat, dan sedikit dingin di saat yang bersamaan. Ini adalah ciuman yang berbicara tentang kenyamanan, tentang rasa aman, tentang janji akan ribuan malam seperti ini di masa depan. Ciuman yang terasa seperti sebuah rumah. Saat mereka akhirnya melepaskan tautan itu, mereka tidak langsung menjauh. Mereka hanya menyatukan dahi, memejamkan mata, merasakan napas satu sama lain di udara malam yang sejuk.

[COMPLETED] Teera Rafandra, senyum adalah baju zirah termahal dan kebohongan adalah mata uang untuk bertahan hidup di SMA Bintang Nusantara. Sebagai siswa beasiswa miskin di tengah lautan anak-anak konglomerat, ia hanya punya satu tujuan: lulus dengan tenang. Namun, saat sebuah insiden bunuh diri yang ganjil membuka kotak pandora berisi rahasia kelam sekolah, ketenangannya hancur. Di sisi lain, ada Sadewa Danendra, pangeran es sekolah yang memiliki segalanya kecuali tujuan hidup. Terobsesi pada anomali bernama Teera, Dewa mulai mengamatinya dari kejauhan. Tapi pengamatan itu segera berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih posesif, dan lebih berbahaya. Ketika Teera tanpa sengaja mulai mengorek kebenaran yang coba dikubur oleh pihak sekolah, ia menjadi target para predator sesungguhnya. Terluka, dijebak, dan dihancurkan, Teera justru menemukan sekutu dari arah yang paling tidak terduga: monsternya sendiri.

[COMPLETED] Bagi Tee Teeradech, hidup adalah sebuah persamaan fisika yang sempurna; semua variabelnya teratur, terukur, dan bisa diprediksi. Namun, kehadiran Dew Jirawat-sang pembuat onar sekolah-adalah sebuah anomali yang merusak semua rumusnya. Berawal dari sebuah kesalahpahaman di kantin, Tee mendapati dunianya yang tenang terus-menerus diinvasi oleh kekacauan yang dibawa Dew. Di balik sikap menyebalkan dan tatapan jahilnya, Tee perlahan menemukan sisi lain Dew yang tak pernah ia duga: sebuah kerapuhan, perhatian yang canggung, dan kebutuhan untuk diterima. Ketika benci mulai terasa seperti peduli dan gangguan berubah menjadi kenyamanan yang tak terduga, mampukah si jenius mengkalkulasi perasaannya sendiri? Karena dalam persamaan cinta, variabel yang paling tak terduga justru bisa menjadi jawaban yang paling sempurna.

[COMPLETED] "Makasih, A' Dewa! Makasih! A' Dewa emang yang terbaik di seluruh alam semesta!" serunya, suaranya teredam oleh kemeja seragam Dewa. "Nanti aku gambar A' Dewa pakai pensil ini pertama kali, janji!" Dewa hanya menepuk-nepuk punggung Tian dengan canggung, merasakan kehangatan dari pelukan itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia memanggil petugas toko untuk membuka etalase kaca. Sambil menunggu, ia menatap puncak kepala Tian yang masih bersandar nyaman di dadanya. Kekalahan ini terasa sangat menyenangkan.

Rumah Pulang: Musim kedua [DewTee]

[COMPLETED] Bagi Dewa, seorang mahasiswa Arsitektur asal Yogyakarta yang tenang dan terstruktur, cinta adalah sebuah bangunan kokoh yang membutuhkan perencanaan matang. Setiap sudutnya harus presisi, setiap fondasinya harus kuat, dan setiap ruangnya harus memiliki fungsi yang jelas. Baginya, cinta adalah kepastian. Bagi Tian, mahasiswa DKV asli Bandung yang ekspresif dan penuh warna, cinta adalah rentetan emosi spontan yang harus dirayakan dengan tawa, sedikit rajukan manja, dan kejutan-kejutan kecil. Baginya, cinta adalah perasaan. Ketika dua dunia ini bertemu di tengah hiruk pikuk kehidupan kampus Bandung, hubungan mereka diuji oleh hal-hal sederhana yang terasa besar: salah paham kecil yang memicu kecemburuan, keheningan yang menyiksa, hingga tantangan jarak yang mengancam saat impian karir membawa mereka ke dua kota yang berbeda. Ini adalah kisah tentang bagaimana seorang perencana yang kaku belajar untuk merangkul ketidakpastian, dan bagaimana seorang seniman yang impulsif belajar untuk percaya pada sebuah cetak biru. Mampukah 'cetak biru' cinta mereka menahan guncangan takdir? Dan di antara hiruk pikuk Jakarta dan kehangatan Bandung, di manakah letak 'rumah' yang sesungguhnya untuk mereka pulang? Face Claim Dewa Jirawat as Dewa Tee Teeradech as Tian Bright Vachirawit as Bintang Win Metawin as Wira Ohm Pawat as Oka Nanon Korapat as Naren Gemini Norawit as Gema Fourth Nattawat as Farel