Namanya Annelise Adelia, tujuh tahun, adalah anak kedua dari empat bersaudara yang tinggal di sebuah rumah bambu reyot beratapkan alang-alang di pinggiran kota. Orangtuanya hanyalah petani biasa, dan keluarga mereka hidup serba kekurangan. Kondisi yang sudah menempa hati Adelia menjadi keras sejak dini. Mereka tinggal berenam di rumah kecil itu. Di luar rumah, Adelia sering berlari di atas rerumputan dengan kaki mungil yang telanjang. Ia akan mendekati sekumpulan anak-anak yang asyik bermain, tetapi tak seorang pun mengajaknya. Ia hanya diam berdiri, kadang bermain bersama seekor anjing kampung, sambil tertawa kecil menikmati tontonan itu. Sepulang sekolah ia harus pergi ke ladang, menemui orangtuanya. Hal itu sudah seperti rutinitas baginya, setiba di ladang ia melihat ibunya sedang memberi makan adik paling kecilnya. "Nak, hari ini makan singkong lagi ya!" Ucap ibunya dengan wajah bersalah . Tanpa banyak basa-basi ia menggambil pringnya, dan membuka mangkok yang berisikan singkong rebus. Begitu juga dengan kakak laki-lakinya. Ia tidak merengek sedikitpun karena makan singkong. Terkadang ada hari dimana mereka sekeluarga makan singkong, kecuali adik bugsunya yang masih berumur 2 tahun itu. Disaat beras di rumah hampir habis, ibunya hanya memasak nasi sampai jadi bubur agar adiknya bisa makan. Sejak saat itu pandangan gadis kecil itu berubah jadi dendam untuk kehidupan, dan juga semangat untuk hidupnya. Terkadang dia menangis diam-diam melihat keluarganya yang hidup jauh dibawah kata sederhana. Ia memiliki impian yang begitu tinggi, sampai suatu saat dia dewasa dan menemukan hal yang tidak pernah dia sangkah-sangkah di dalam hidupnya.