hebralkhalel
"Barang siapa menempuh jalan menuju ilmu, maka sebenarnya ia sedang berjalan menuju dirinya sendiri."
Di tepi Sungai Nil, seorang pemuda bernama Zaid al-Rashid meninggalkan rumahnya untuk menuntut ilmu. Ia berjalan menembus padang pasir, membawa doa ibunya dan nasihat ayahnya agar ilmu tak menjadikannya sombong.
Dalam perjalanan, Zaid bertemu Imam Naufal ibn Hisham, seorang ulama besar yang meninggalkan kehormatan untuk mencari makna sejati dari ilmu. Keduanya berjalan bersama, berbagi roti kering dan percakapan yang menyingkap hati. Dari sang imam, Zaid belajar bahwa ilmu sejati bukanlah yang dihafal lidah, melainkan yang menundukkan jiwa.
Di sebuah kota pasar, mereka melihat kerumunan orang yang tengah memukuli seorang bocah. Bocah itu ketahuan mencuri roti karena lapar, dan orang-orang pasar marah. Melihat itu, Imam Naufal melangkah maju, menenangkan orang-orang, dan membela bocah tersebut dengan tegas namun lembut.
Beliau kemudian membawa bocah itu-Salman, seorang yatim piatu-bergabung dalam perjalanan mereka. Zaid memperhatikan dengan seksama bagaimana Imam Naufal menolong bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati. Dari peristiwa itu, Zaid belajar bahwa kasih sayang bisa lebih mendalam dari pengetahuan, dan bahwa lapar tubuh sering kali hanyalah cerminan dari lapar jiwa.
Maka, tiga jiwa pun berjalan bersama di bawah matahari gurun: seorang tua yang mencari makna, seorang muda yang mencari ilmu, dan seorang anak yang mencari kasih. Dalam langkah mereka, terbuka rahasia terbesar dari perjalanan: bahwa setiap manusia sejatinya sedang menempuh jalan menuju dirinya sendiri.
Hikayat Tiga Musafir © 2025, Hebra Al-Khalel (hebralkhalel). Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.