Nalendra, Lingga series
2 stories
Petikan Lingga by alergi_alergy
alergi_alergy
  • WpView
    Reads 114
  • WpVote
    Votes 16
  • WpPart
    Parts 12
Suara petikan gitar mengisi ruangan kecil itu, menggema lembut di antara dinding-dinding kosong. Lingga duduk bersila di lantai, memeluk gitar akustiknya seperti seorang sahabat lama yang selalu setia mendengar. Tangannya bergerak perlahan, memainkan melodi yang sederhana namun penuh makna. Mata Lingga terpejam, seakan mencari ketenangan di antara setiap nada yang ia mainkan. Hari itu, matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela. Langit berwarna jingga keemasan, tanda bahwa senja sudah mulai memeluk hari. Lingga tahu bahwa waktu terus berjalan, namun ia merasa seolah detik-detik itu melambat saat ia tenggelam dalam musiknya. Di sudut ruangan, terletak sebuah foto kecil yang berdiri di atas meja kayu. Foto itu adalah potret dirinya bersama Nalendra-tertawa bersama di sebuah taman dengan cahaya matahari menerpa wajah mereka. Lingga melirik foto itu sejenak, senyumnya muncul tapi dengan berat, seakan ada sesuatu yang tertahan. Petikannya terhenti. Lingga menarik napas dalam-dalam, lalu menundukkan kepala, memandangi gitar di pangkuannya. "Len... gue nggak tahu kenapa gue selalu mainin lagu ini setiap kali gue mikirin lo," gumamnya lirih. Ia mengusap wajahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Hening. Hanya ada suara angin yang meniup lembut tirai jendela. Lingga kembali menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba mengingat saat-saat ia dan Nalendra duduk bersama di tempat ini. Gitar yang kini di tangannya pernah dimainkan oleh Nalendra, bahkan melodi yang ia mainkan barusan adalah lagu yang sering mereka nyanyikan bersama. "Mungkin lo bener, Len," bisiknya pelan. "Hidup ini nggak selalu soal yang sempurna, tapi soal belajar menerima." Lingga tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat.
Naskah Semu [PRE ORDER] by alergi_alergy
alergi_alergy
  • WpView
    Reads 639
  • WpVote
    Votes 112
  • WpPart
    Parts 29
Nalendra Dipta Kusuma duduk sendirian di teras rumahnya saat kabut tipis menyelimuti pagi. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, semakin menekankan agar Nalendra mengikuti jejaknya dalam bisnis. Namun, Nalendra bermimpi menjadi penulis. Dalam kegelisahan, Nalendra menyaksikan daun-daun berguguran, merasa terikat dengan harapan-harapan yang pupus. Dalam keputusasaannya, dia merenung, "Papah cuma mau aku hidup sesuai naskah yang papah buat." Namun, di dalam hatinya, Nalendra menemukan keberanian untuk menulis naskah hidupnya sendiri. Dengan tekad yang membara, dia bangkit siap menghadapi takdir yang belum terungkap.