Riana_Alfajr
- Reads 304
- Votes 59
- Parts 13
Anak-anak kecil itu tumbuh dalam hangat, sementara aku belajar berbicara pada sepi.
Dipeluk gelap yang tak bernama, mengetuk pintu yang hanya bayang, berdiri di ambang yang tak pernah mengizinkan masuk.
Langit begitu jauh, tak bisa kusebut atap.
Tanah begitu asing, tak bisa kusebut rumah.
Hingga hujan membawaku padamu, di sebuah sudut yang tak kujanjikan, di bawah cahaya yang nyaris padam. Kau tak mengulurkan tangan, tak mencoba meraih, hanya diam, hanya mendengar, dan entah bagaimana, aku merasa pulang.
Tapi rumah selalu rapuh dalam genggamanku, angin selalu tahu cara meruntuhkannya. Jendela yang dulu terbuka kini berdebu, pintu yang dulu ramah kini berkarat. Katamu, aku harus pergi, karena menunggu adalah luka yang tak kau pilih.
Aku ingin tetap di sana, meski hanya sebagai bayang di ambang pintumu, meski hanya sebagai gema yang kau dengar sesekali. Aku ingin tinggal, meski kau menyuruhku pergi.
Kini aku hanyalah langkah yang tak berjejak, menyusuri jalan yang tak pernah sampai, mengetuk pintu yang bahkan tak ingin terbuka.
Sebab kau-adalah alamat yang tak bisa kutuliskan lagi.
-Naira Aqila Az-Zahra🍁