rrnkrtkptr
Daffa pernah memiliki sesuatu yang ia sebut "rumah". Bukan sekadar atap tempat berteduh, bukan sekadar dinding yang membentengi tubuh. Tapi sebuah tempat pulang, tempat jiwa menemukan teduhnya. Dan ketika "rumah" itu direnggut dari hidupnya, Daffa tidak kehilangan arah-ia kehilangan dirinya sendiri.
Hari-harinya berjalan sunyi, namun kepalanya riuh oleh suara-suara yang tak pernah benar-benar diam. Di balik sorot matanya yang dingin dan bibir yang jarang tersenyum, ada sesuatu yang telah remuk. Ia membangun dirinya di atas reruntuhan luka, menjelma sosok yang asing bahkan bagi dirinya sendiri. Di antara dunia yang bergerak, Daffa berhenti. Terjebak dalam ruang kosong yang ia ciptakan sendiri.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Ares.
Anak laki-laki yang menertawakan hujan, yang menyapa matahari seolah keduanya bersaudara. Anak laki-laki dengan mata sehangat senja dan suara selembut angin sore. Sosok yang ceria, lembut, dan pengertian itu membangkitkan sesuatu dalam diri Daffa-sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar cinta. Sebuah obsesi. Keinginan untuk memiliki. Hasrat untuk menjadikan Ares rumah yang baru, tak peduli harus dengan cara apa.
Bagi Daffa, Ares adalah jalan pulang yang tak boleh ia lepaskan.
Bahkan jika jalan itu harus ia kotori dengan darah.
Bahkan jika "rumah" yang ia impikan ternyata tak lebih dari jeruji yang ia ciptakan sendiri.
Dan di akhir cerita ini, Daffa harus memilih: tetap menjadi penghuni kegelapan yang ia peluk erat, atau melepaskan semua, meski berarti ia harus kembali menjadi kosong.
Karena tidak semua kehilangan layak untuk ditemukan kembali.
Dan tidak semua rumah pantas untuk dihuni.
Peringatan:
Cerita ini mengandung tema kekerasan, relasi obsesif, serta trauma keluarga. Dibaca dengan kebijaksanaan hati.