sosweetzayy
- Reads 2,503
- Votes 314
- Parts 21
Leo menundukkan kepala menunjukkan betapa gusarnya dia.
"Aku berharap bahwa ini hanya pikiranku saja," kata Leo memulai percakapan.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Kau tidak lihat bahwa orang pertama yang dihubungi Zayyan adalah Wain? Lalu apakah di mata Zayyan kita tidak lebih penting dari orang itu?"
"Aku mengerti, Leo, tapi kita juga tidak bisa menyimpulkan hal itu tanpa ada ....."
"Aku pikir aku bisa menahannya, tapi ternyata aku tidak bisa," potong Leo.
"Leo, tidak bisakah kita mengesampingkan perasaanmu dulu? Aku juga merasakannya, tapi ibu Zayyan sedang sakit, kita tidak mungkin membahas itu kan?"
"Ya, perasaan kita memang tidak sepenting itu. Yang harus kita jaga hanyalah perasaan Zayyan!"
"Leo!" Bentak Sing.
"Apa?!" Wajah Leo merah padam. "Sampai kapan kau harus membohongi dirimu sendiri? Sekarang aku tanya, apa pernah Zayyan menanyakan kesehatanmu setelah pertandingan basket Wain yang spesial itu?" sarkas Leo, "padahal kau juga punya Rinitis kan? Zayyan sangat tau jika rinitis akan memburuk saat cuaca dingin."
"Cukup, Leo, aku tidak ingin mendengarnya lagi. Lebih baik kau pulang saja," ucap Sing dengan nada yang lebih tenang.
Leo terdiam cukup lama, lalu kembali berbicara, "Aku ingin seperti dirimu yang bisa mengabaikan segalanya demi Zayyan, yang memaklumi apa pun yang dia lakukan, meski harus mengorbankan perasaanku yang tidak berharga ini." Kemudian Leo berkata lagi, "Kita yang selalu ada, tapi mungkin Wain-lah yang dia butuhkan."