Dulu, rumah kecil di ujung desa itu adalah segalanya bagiku. Tempat di mana aroma kopi ayah dan tawa ibu berpadu dengan riuh kakakku yang berebut roti hangat setiap pagi. Tapi semuanya berubah di pagi yang basah oleh hujan itu. Ibu pergi tanpa pamit, membawa separuh napas rumah bersamanya. Sejak itu, aku yang masih berumur lima tahun, mulai belajar arti kehilangan, menahan tangis di balik pintu kamar dan belajar kuat meski dunia terasa runtuh. Karena kadang, yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan. Melainkan menyadari bahwa seseorang yang dulu kau anggap "rumah" tak lagi menjadi rumah untukmu.