Lucy_448
Dalam hening yang rebah di rimba tua,
terdengar bisik daun mengucap duka
bukan pada kematian biasa,
melainkan pada sosok yang memilih fana tanpa pusara.
Ia bukan sejarah yang diabadikan tinta,
melainkan jelmaan luka,
yang ditulis angin di kulit pepohonan
dan dihafal air sungai yang mengalir dalam sunyi.
Namanya adalah senyap.
Langkah disulam dari dendam dan gelap.
Ia tak menyanyikan kemenangan,
melainkan ratapan yang menyayat senjata lawan.
Sancaka.....
bukan manusia, bukan dewa.
Ia bayang dikejar pagi
dan diburu malam tanpa bisa disentuh jari.
Ranti gugur di dadanya,
Damar padam di lengannya,
dan sejak itu, cinta berhijrah
menjadi bara tak mengenal ampun pada durjana.
Ia tak pulang.
Tak menjelma arca, tak jadi patung dalam taman pahlawan.
Ia mengendap dalam akar,
tiap tetes embun adalah darah yang kembali menceritakan perang.
Sancaka.....
kami yang hidup dalam zaman tanpa kehormatan
hanya bisa menunduk dalam malu,
karena bayanganmu lebih terang daripada lentera negeri ini.
Semoga rimba tak pernah lupa,
bahwa di satu masa,
ada manusia yang memilih tak dikenal
agar tanah ini tetap bisa bernapas bebas.