wyhartono
Bukan kesadaran yang lahir lebih dulu, melainkan keberadaan-sebuah keberadaan yang dikirimkan tanpa pilihan, tanpa kehendak. Aku hanya tiba, ditarik dari ketiadaan menuju panggung dunia. Di sana, dalam tangisan yang belum mengenal makna, dunia pun mulai membentukku, perlahan, sabar, dan kadang dengan kejam.
Setiap fase bukan sekadar waktu. Ia adalah ranah tempat jiwa ditantang untuk tumbuh, atau hancur. Kanak-kanak, remaja, dewasa-nama-nama itu bukan penanda umur belaka, melainkan medan bagi motivasi-motivasi purba dan konflik-konflik batin yang saling bersaing. Aku berjalan di lorong-lorong takdir, tak sepenuhnya sadar bahwa di balik setiap langkah, ada keputusan, dan di balik setiap keputusan, ada bayang-bayang jejak yang tak bisa kuhapus.
Pengalaman, katamu? Ia tidak sekadar datang-ia menyerang, merangkul, menghancurkan, lalu membentuk kembali. Aku seperti tanah liat dalam tangan waktu, kadang dibentuk indah, kadang ditinggal pecah.
Namun di sana pula, dalam retakan itu, aku mulai melihat diriku.
Takdir bukan garis lurus, dan hidup bukan skenario agung yang sudah ditentukan. Ia adalah dialog, tarian antara kehendakku dan kekuatan dunia yang tak bisa kuabaikan. Setiap pilihan yang kuambil, entah berdasarkan cinta, ketakutan, harapan, atau dendam, menciptakan gurat cerita yang tak bisa terulang.
Hingga di akhir nanti, dalam keheningan yang sama seperti awalnya, aku tahu: bukan tentang berapa lama aku berjalan, tapi sejauh mana aku mengenali setiap langkah itu.
Dan mungkin, hanya mungkin, di sana-di titik terakhir di mana dunia melepas aku kembali ke diam-aku akan tersenyum, mengingat bahwa aku pernah mencoba menjadi manusia sepenuhnya.