VEE050593
- Reads 2,598
- Votes 448
- Parts 16
Aku menatap langit-langit kamar, hampa. Dulu, aku bisa berjam-jam memikirkan cerita, melukis dunia dalam benakku. Sekarang? Jangankan dunia, diriku sendiri saja terasa asing. Minat itu hilang, terkubur entah di mana. Mencari makna? Buang-buang waktu. Hidup ini seperti lelucon yang tidak lucu.
Cinta? Aku bahkan tidak ingat rasanya. Pada orang lain? Mustahil. Pada diriku sendiri? Lebih mustahil lagi. Aku benci bayangan yang kulihat di cermin.
Orang tua? Jangan membuatku tertawa. Atau menangis. Entahlah. Mereka seharusnya menjadi tempatku mencari perlindungan, tapi yang kudengar justru harapan agar aku segera mati. Ironis, bukan? Aku sudah lama mendambakan kematian, jauh sebelum mereka mengatakannya.
Bekas luka di pergelangan tanganku terasa nyeri. Bukan fisik, tapi psikis. Aku ingat bagaimana aku menangis meraung-raung saat terbangun di rumah sakit. Mengutuk siapa pun yang telah menyelamatkanku. Kenapa? Kenapa aku masih di sini?
Aku hidup karena aku bernapas. Hanya itu. Tidak ada tujuan, tidak ada harapan. Hanya ada luka yang menganga, terlalu dalam untuk disembuhkan.
Jika malaikat maut datang esok atau lusa, aku akan menyambutnya dengan senyum. "Kenapa kau lama sekali?" tanyaku. Aku lelah. Sungguh lelah. Dan aku hanya ingin mati.