ArkaZS's Reading List
6 stories
SEJARAH BABAD TANAH JAWA by tanpoasmo
tanpoasmo
  • WpView
    Reads 102,421
  • WpVote
    Votes 280
  • WpPart
    Parts 2
Ini copas
Surat untuk Penyair Muda by didi80
didi80
  • WpView
    Reads 470
  • WpVote
    Votes 21
  • WpPart
    Parts 1
Bacaan wajib bagi Anda yang sedang memulai atau ingin mulai menekuni dunia kepenulisan, baik puisi, cerita dan lainnya. Surat untuk Penyair Muda merupakan surat terbuka yang diterjemahkan oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri dari Letters to a Young Poet karya Rainer Maria Rilke (Jerman). Berisi nasehat-nasehat dan gambaran-gambaran riil tentang lika-liku dunia kepenulisan, yang mungkin sangat jauh dari gambaran Anda. Sebagai pengantar, disajikan pula puisi dari penyair gaek Indonesia, Saini KM dengan judul yang sama. Semoga bermanfaat.
(1925) Tan Malaka - Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) by GeraniumNegra
GeraniumNegra
  • WpView
    Reads 19,661
  • WpVote
    Votes 394
  • WpPart
    Parts 6
Salah satu karya penting seorang Tan Malaka selain Madilog. Karya inilah yang membuat Tan Malaka disebut-sebut sebagai konseptor pertama negara Republik Indonesia, dimana tahun ketika karya ini keluar (1925) belum terjadi peristiwa Sumpah Pemuda (1928).
(1926) Aksi Massa - Tan Malaka by GeraniumNegra
GeraniumNegra
  • WpView
    Reads 33,918
  • WpVote
    Votes 626
  • WpPart
    Parts 14
Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu sampai sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok bangsa asing. Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan. Hanya aksi massa yang bisa membebaskannya... Ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1926 di Singapura. Sumber: Diambil dari buku "Aksi Massa" terbitan Teplok Press, 2000. Diambil dari Marxist.org Diunggah kesini untuk tujuan pendidikan.
1001 Celoteh Tentang Puisi by DhediRGhazali
DhediRGhazali
  • WpView
    Reads 5,165
  • WpVote
    Votes 107
  • WpPart
    Parts 15
Membicarakan puisi tidak akan ada habisnya. Selama kata-kata tidak hanya cukup untuk sekadar berkata saat itulah puisi akan hadir sebagai sebuah jalan lain mengungkapkan sesuatu. Desah angin adalah puisi, gemericik air adalah puisi, helai napas adalah puisi, semua yang ada dan tiada adalah puisi. Dari waktu ke waktu, perkembangan puisi semakin liar saja. Kehadiran puisi digital misalnya, membuat puisi tak lagi menjadi sesuatu yang susah ditemui. Berbagai kemudahan menikmati puisi dengan media sosial adalah salah satu perubahan yang mencolok beberapa tahun terakhir. Namun demikian, puisi tetaplah puisi, terlepas dimana dan darimana dia terlahir. Puisi seolah hadir dalam setiap situasi, politik, ekonomi, sosial, agama, dan seluruh aspek kehidupan. Hal ini semacam virus yang menjangkiti seluruh kalangan masyarakat, dari yang kaya sampai miskin, yang sarjana hingga tukang becak pun tak lepas dari "kejahilan" puisi yang melukiskan mereka dengan kanvas yang rasanya tidak akan pernah kering. Berbagai polemik di negeri ini misalnya, tak juga luput dari mata tajam para penyair yang akhirnya menelurkannya menjadi sebuah puisi "pemberontakan" semacam puisi-puisi Wijhi Thukul. Perkembangan puisi tentu tak lepas dari pro-kontra. Pro-kontra ini jugalah yang mau tidak mau terkadang menjadikan puisi dan penyair sebagai sasaran empuk "bualan-bualan" yang akademis. Esai-esai tentang puisi semakin banyak dan beranak-pinak. Oleh sebab itulah penulis juga tak ingin ketinggalan untuk membuat celoteh-celoteh tentang puisi bertajuk "1001 Celoteh Tentang Puisi". Mengingat penulis bukan dari golongan sarjana sastra, apalagi masuk dalam buku "33 Sastrawan Paling Berpengaruh" yang kontroversial itu, maka penulis sangat menyadari masih dangkalnya uraian-uraian yang akan disampaikan. Meski demikian, rasanya bukan menjadi alasan untuk tidak menuliskannya. Selamat memperkosa puisi.
MADILOG, Tan Malaka by lentera
lentera
  • WpView
    Reads 4,784
  • WpVote
    Votes 49
  • WpPart
    Parts 1