Anna ingat, neneknya pernah berkata bahwa setiap orang di dunia ini memiliki belahan jiwa, entah laki-laki atau perempuan, mereka terhubung oleh sebuah takdir yang tidak bisa dihindari. Pernah suatu ketika tangannya tiba-tiba saja lebam seperti habis dipukul saat sedang makan malam dan dengan santainya nenek Anna berkata, "Belahan jiwa kamu kayanya habis berantem sama temennya, kayanya laki-laki deh." Semakin hari semakin aneh. Mulai dari kakinya yang terasa begitu ngilu seperti patah hingga rambutnya yang berubah menjadi biru setelah ia bangun tidur. Suatu hari Anna bertekad untuk mencari belahan jiwanya itu dan meminta pertanggung jawaban karena telah membuatnya menderita bahkan dihukum di sekolahnya, namun dia tidak tahu jika ada beberapa larangan yang tidak boleh dilanggar atau Semesta akan membuat kekacauan di hidupnya

Ketika Laksamana Tirtoadji sang Ketua Senat dipertemukan dengan Namita Aisyah sang Kutu Buku melalui sebuah perjodohan, keduanya kesulitan untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Namun, ketika rasa sudah bicara, dapatkah mereka berpaling? *** Menjadi ketua senat saat duduk di semester 6 bukanlah perkara yang mudah bagi seorang Laksamana Tirtoadji. Terlebih lagi, saat di kampus, ia masih harus dibebani untuk mengawasi Namita Aisyah. Namita yang seorang kutu buku akut, selalu sibuk dengan buku-buku usang di perpustakaan fakultas, tanpa mau tahu hal tentang sang ketua senat-Laksa-alias tunangannya. Bahkan di saat gadis lain berlomba-lomba menjadi stalker di semua media sosial milik Laksa maupun di dunia nyata, Namita tampak tidak peduli. Lalu, bagaimana kelanjutan hubungan Namita dan Laksa di saat jarak tercipta antara si kutu buku dan senat kampus? Bertahan, atau berhenti di tengah jalan karena perbedaan mereka? Cover design by Raymond Gardener.