UwU
25 stories
Ketika Kita Terjaga by naraliyan
naraliyan
  • WpView
    Reads 1,657
  • WpVote
    Votes 131
  • WpPart
    Parts 10
[15+] Ketika kita terjaga, biasanya disebabkan oleh banyak hal. Entah itu karena suara berisik di dapur, suara deritan ranting pohon, atau perasaan tentang keberadaan monster di bawah tempat tidur. Namun, kamu pasti akan memilih untuk tetap menutup mata dan berharap semua kegilaan malam itu segera berakhir, bahkan tanpa berani untuk melihat siapa yang sedang mengawasimu di sudut ruangan. Kumpulan cerpen copyright © Auliza Syakur, 2017-2020
REGA by narasutan
narasutan
  • WpView
    Reads 14,823
  • WpVote
    Votes 1,282
  • WpPart
    Parts 15
Rega dan Gunadi, duo-detektif pemula, harus berhadapan dengan berbagai kasus abstrak yang membutuhkan keahlian khusus. Leo, seorang polisi, dan Nindya, seorang staf laboratorium, memberi sumbangsih yang tidak disangka-sangka. Apalagi Yoga, kakak Rega sendiri. Menjadi kawan sekaligus lawan dalam tiap aksi pengungkapan kasus. Semacam anti-hero yang bermoral. Musuh terkuat menanti di luar sana, memancing mereka ke dalam jerat kasus kejahatan yang sistematis, terstruktur, dan tak masuk akal. Mari terjun ke dunia mereka.
DEVOLVED by narasutan
narasutan
  • WpView
    Reads 10,798
  • WpVote
    Votes 884
  • WpPart
    Parts 9
BERSERAH PADANYA. Diana, nenek berusia 60 tahun, merayakan ulang tahunnya bersama makhluk mengerikan yang selama ini menjadi temannya. Makhluk itu memberikan hadiah yang selalu Diana tolak sejak ulang tahunnya yang ke-10. Kali ini dia menerima hadiah itu. Disclaimer: Nicht in deutscher Sprache abgefasst.
Sampah #8: Kaus Kaki si Mbah by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 3,598
  • WpVote
    Votes 706
  • WpPart
    Parts 1
Penitipan mbah baru sudah berarti berita buruk. Bukan buat badan pelayanan, tapi buat si mbah dan keluarganya. Kami hanya bisa menerima mbah yang bermasalah; entah hidup sebatang kara, keluarga tidak punya uang untuk mengurus, penderita psikotik ringan, atau mbah-mbah kurang beruntung yang keluarganya 'tidak sanggup' mengurus. Alasannya bermacam-macam, mbahnya egois lah, tidak bisa diatur lah, anak dan menantu mengancam cerai kalau mbah ada di rumah lah, sampai alasan yang kadang terkesan mengarang-ngarang. Aku pun bergegas menghampiri tamu itu. Benar saja, sudah ada seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi duduk bersama seorang mbah di kursi terpisah. Aku perhatikan mereka berdua. Tidak tampak gambaran yang memunculkan kesan kurang mampu. Si mbah mengenakan kacamata, kulitnya cerah, bajunya bagus. Batik, celana kain, bahkan kakinya dibungkus kaus kaki meski menggunakan sandal jepit. "Selamat pagi, Pak. Perkenalkan saya Kasongan. Nama Bapak siapa, nggih?" [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #8]
Sampah #6: Recehan Kadaluarsa by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 5,796
  • WpVote
    Votes 1,521
  • WpPart
    Parts 1
Pernah memberikan secercah uang Anda untuk pengemis? Merasa iba jika pengemis itu membawa bayi atau anak-anak? Berharap uang Anda akan membantu ekonomi mereka? Coba pikir lagi. Jika Anda pernah menghabiskan waktu dengan seorang bayi, Anda pasti menyadari bahwa bayi sangat mudah terbangun dari tidurnya. Entah itu karena lapar, buang air, atau kaget. Coba bayangkan jika bayi itu berada di sebuah tempat yang bising dan tidak nyaman. Apakah bayi itu tidak akan terganggu? Sekarang coba bandingkan dengan bayi-bayi yang dibawa pengemis. Di terminal maupun di lampu merah, suasananya hiruk pikuk dan tidak sesuai untuk bayi yang sedang tidur. Mereka juga dibawa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Terkadang bahkan bayi itu dibawa berlari mengejar bus kota. Tapi bayi itu tetap saja terlelap di alam tidurnya. Pernah Anda berhenti sebentar dan berpikir kenapa? [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #6]
Sampah #4: Plastik Kresek by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 6,485
  • WpVote
    Votes 1,448
  • WpPart
    Parts 1
Lautan semakin aneh. Tempat tinggal terakhirku bahkan berubah, memaksaku untuk pindah. Tidak ada lagi ikan kecil di sana dan koral-koralnya kehilangan warna. Belum lama aku mendengar kalau ada penyu yang tidak bisa pulang. Dia bilang pantainya hilang, berubah jadi batu raksasa berwarna abu-abu. Meski pantaiku masih seperti dulu, kalau berenang ke arah pantai, aku juga selalu menemukan benda asing. Namun yang paling aneh memang ubur-ubur. Ubur-ubur semakin banyak. Tapi ubur-ubur membuat teman-temanku sakit perut. Kasihan Nyunyu. Aku jadi sedih. Apakah laut sedang menghukum kami? [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #4]
Sampah #3: Lelehan Lilin Pertiwi by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 8,830
  • WpVote
    Votes 2,020
  • WpPart
    Parts 1
"Selamat ulang tahun, Ibu!" teriak sebuah suara yang familiar. Suara itu kemudian hilang, digantikan pelukan erat. Kedua lenganku membalas dekapan anak kesayanganku. Pelukannya terasa hangat, mengingatkanku akan perjuangan ayah, Nusantara, saat mendirikan Majapahit dulu. Batavia sekarang sudah dewasa, meski masalah mengompolnya belum juga sembuh. Aku merengkuh tubuhnya yang bau dan penuh polusi, mengenali kali-kalinya yang hitam dan halaman-halamannya yang botak. Apa pun yang terjadi, aku tetap bangga dengan Batavia. Menjadi ibu kota memang berat, aku paham betul. Biar pun wajah Batavia selalu terlihat menganggumkan, badannya dipenuhi sampah. Sampah yang mungkin setinggi gedung-gedung pencakar langit yang tampak di wajah putraku itu. Tapi tak apa, Batavia. Bersabarlah. Sebentar lagi tanggung jawabmu akan dipindahkan ke Borneo. [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #3] dipublikasi di Kompas Muda https://muda.kompas.id/2018/07/20/lelehan-lilin-pertiwi/
Sampah #7: Masker Bedah by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 4,981
  • WpVote
    Votes 1,248
  • WpPart
    Parts 1
"Jadi, saya harus bayar berapa?" Mencuri dengar itu tidak baik, bukan? Siapa tidak tahu hal itu? Tidak ada. Siapa yang peduli? Tidak ada juga. Apalagi, aku mendengar namaku disebut. Rasa penasaranku terlanjur menggebu-gebu. Bagaimana tidak? Ayahku akhirnya menelepon koleganya. "Empat puluh saja, Pak." Untung bagiku, ayah selalu memasang telepon dalam volume keras. Tidak perlu sampai berjongkok dalam gelap, jawaban di seberang sana sudah jelas terdengar. "Tapi anak saya bener bisa masuk kedokteran?" Jantungku berdegup kencang. Liar. Jawaban kolega ayah akan menentukan nasibku. Jawaban yang bisa menjadi penolakan kelima, atau sebaliknya. "Bisa. Nanti ikut tes untuk formalitas. Sisanya akan saya urus." [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #7]
Sampah #2: Propelan by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 6,487
  • WpVote
    Votes 1,469
  • WpPart
    Parts 1
Aku kembali tertawa. Lucu juga bagaimana jawabannya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku. "Gue nggak bawa agama loh? Apa iya cuma karena orang yang mati ditembak itu pemuka agama dan yang nembak itu Zionis Israel gue jadi otomatis belain agama Islam? Gue kira lo pernah diajarin tentang hak asasi? Yah, gue tau bullshit banget kalo dengernya dari gue. Cuma gue capek aja sekarang buat peduli sama orang lain harus berdasarkan status dan golongan orang tersebut. Bukannya sama aja ya mereka semua manusia?" "Ya kalo lo peduli, terus apa? Emang lo bisa bantu? Lo juga nggak bisa apa-apa, kan? Jangan sok suci. Lo nggak lebih baik dari gue sama Bimo." [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #2]
Sampah #1: Bungkus Rokok by kontradiksi
kontradiksi
  • WpView
    Reads 16,110
  • WpVote
    Votes 3,110
  • WpPart
    Parts 1
Hampir tiga tahun. Selama itu aku berjuang setengah mati demi satu kursi kedokteran di universitas negeri. Konon katanya biayanya tidak semahal swasta. Tapi aku juga tidak ambil pusing karena pemerintah masih berbaik hati memberikan Bidikmisi. Semoga saja aku bisa lolos dengan Bidikmisi. Semoga. Ayah dan Ibu tidak terlalu berharap. Mungkin mereka tidak bilang secara tersurat, tapi aku tahu mereka lebih senang kalau aku memilih jurusan yang semesternya sedikit. Biar cepat lulus. Cepat dapat uang. [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #1]