Ferrysamosir
Aruna, seorang koordinator lapangan organisasi kemanusiaan, hidup di tengah pusaran bencana dan konflik yang tak pernah memberi jeda. Dari Meuladoh hingga Nisa, ia berlari bersama data, peta, dan angka korban. Namun di balik ketegasan sikapnya, ada ruang sunyi yang hanya bisa disentuh oleh satu nama: Marisi.
Marisi adalah pemimpin misi dari lembaga internasional, seorang pekerja kemanusiaan yang keras kepala, penuh idealisme, namun diburu luka masa lalu. Di Buronda, ia kehilangan Arsa-seorang dokter sahabatnya-dalam tragedi pembakaran kamp. Rasa bersalah itu tak pernah pergi, menjelma bayangan yang selalu menemaninya di setiap misi.
Ketika Marisi terseret konflik internal dengan organisasinya, GDR, tuduhan korupsi program perumahan mengguncang posisinya. Ia berada di persimpangan: mengundurkan diri dengan diam, atau menjadi whistleblower yang bisa meruntuhkan sistem yang selama ini ia bela.
Di saat yang sama, Aruna mendapat tawaran mutasi ke Sudan Selatan-sebuah lompatan karir sekaligus ancaman pada benih hubungan yang mulai tumbuh antara mereka.
Novel ini menggali rapuhnya manusia di balik jargon kemanusiaan. Tentang rindu yang tak pernah diucapkan, luka yang diwariskan, dan keberanian untuk memilih jalan-meski setiap pilihan berarti kehilangan.