Bukan sekadar sampah
7 histoires
Sampah #7: Masker Bedah par kontradiksi
Sampah #7: Masker Bedah
kontradiksi
  • LECTURES 4,964
  • Votes 1,245
  • Parties 1
"Jadi, saya harus bayar berapa?" Mencuri dengar itu tidak baik, bukan? Siapa tidak tahu hal itu? Tidak ada. Siapa yang peduli? Tidak ada juga. Apalagi, aku mendengar namaku disebut. Rasa penasaranku terlanjur menggebu-gebu. Bagaimana tidak? Ayahku akhirnya menelepon koleganya. "Empat puluh saja, Pak." Untung bagiku, ayah selalu memasang telepon dalam volume keras. Tidak perlu sampai berjongkok dalam gelap, jawaban di seberang sana sudah jelas terdengar. "Tapi anak saya bener bisa masuk kedokteran?" Jantungku berdegup kencang. Liar. Jawaban kolega ayah akan menentukan nasibku. Jawaban yang bisa menjadi penolakan kelima, atau sebaliknya. "Bisa. Nanti ikut tes untuk formalitas. Sisanya akan saya urus." [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #7]
Sampah #6: Recehan Kadaluarsa par kontradiksi
Sampah #6: Recehan Kadaluarsa
kontradiksi
  • LECTURES 5,764
  • Votes 1,518
  • Parties 1
Pernah memberikan secercah uang Anda untuk pengemis? Merasa iba jika pengemis itu membawa bayi atau anak-anak? Berharap uang Anda akan membantu ekonomi mereka? Coba pikir lagi. Jika Anda pernah menghabiskan waktu dengan seorang bayi, Anda pasti menyadari bahwa bayi sangat mudah terbangun dari tidurnya. Entah itu karena lapar, buang air, atau kaget. Coba bayangkan jika bayi itu berada di sebuah tempat yang bising dan tidak nyaman. Apakah bayi itu tidak akan terganggu? Sekarang coba bandingkan dengan bayi-bayi yang dibawa pengemis. Di terminal maupun di lampu merah, suasananya hiruk pikuk dan tidak sesuai untuk bayi yang sedang tidur. Mereka juga dibawa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Terkadang bahkan bayi itu dibawa berlari mengejar bus kota. Tapi bayi itu tetap saja terlelap di alam tidurnya. Pernah Anda berhenti sebentar dan berpikir kenapa? [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #6]
Sampah #5 Borgol Karatan par kontradiksi
Sampah #5 Borgol Karatan
kontradiksi
  • LECTURES 4,370
  • Votes 1,099
  • Parties 1
Tajamnya udara Bandung dini hari menggigit kulitku. Beku, nyaris membuat tubuh ini menggigil. Potongan seragam biru tua sudah kutanggalkan, diganti kaos oblong dan sarung kotak-kotak. Aku menggosok kedua telapak tangan, usaha sia-sia untuk menghasilkan panas. Untung dingin begini tak seberapa dengan pemasukannya. Pekerjaan dini hari punya uang yang lumayan. Tak apalah uang kotor. Yang penting lumayan untuk biaya rokok sehari-hari. "Ayo cepat, cepat! Semua barang harus masuk hari ini. Minggu depan ada sidak dari Kanwil," perintah pria di ujung gerbang. Ia membuka kain hitam penutup bagian belakang mobil pickup. Mataku memicing, mencoba mengenali barang-barang yang ditumpuk di mobil. Ada TV, dispenser, laptop, hingga sofa kulit berwarna cokelat. Alat-alat elektronik masih dibungkus kardus. Sofanya dilapisi plastik ketat transparan. Semuanya terlihat baru. [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #5]
Sampah #4: Plastik Kresek par kontradiksi
Sampah #4: Plastik Kresek
kontradiksi
  • LECTURES 6,437
  • Votes 1,445
  • Parties 1
Lautan semakin aneh. Tempat tinggal terakhirku bahkan berubah, memaksaku untuk pindah. Tidak ada lagi ikan kecil di sana dan koral-koralnya kehilangan warna. Belum lama aku mendengar kalau ada penyu yang tidak bisa pulang. Dia bilang pantainya hilang, berubah jadi batu raksasa berwarna abu-abu. Meski pantaiku masih seperti dulu, kalau berenang ke arah pantai, aku juga selalu menemukan benda asing. Namun yang paling aneh memang ubur-ubur. Ubur-ubur semakin banyak. Tapi ubur-ubur membuat teman-temanku sakit perut. Kasihan Nyunyu. Aku jadi sedih. Apakah laut sedang menghukum kami? [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #4]
Sampah #3: Lelehan Lilin Pertiwi par kontradiksi
Sampah #3: Lelehan Lilin Pertiwi
kontradiksi
  • LECTURES 8,741
  • Votes 2,018
  • Parties 1
"Selamat ulang tahun, Ibu!" teriak sebuah suara yang familiar. Suara itu kemudian hilang, digantikan pelukan erat. Kedua lenganku membalas dekapan anak kesayanganku. Pelukannya terasa hangat, mengingatkanku akan perjuangan ayah, Nusantara, saat mendirikan Majapahit dulu. Batavia sekarang sudah dewasa, meski masalah mengompolnya belum juga sembuh. Aku merengkuh tubuhnya yang bau dan penuh polusi, mengenali kali-kalinya yang hitam dan halaman-halamannya yang botak. Apa pun yang terjadi, aku tetap bangga dengan Batavia. Menjadi ibu kota memang berat, aku paham betul. Biar pun wajah Batavia selalu terlihat menganggumkan, badannya dipenuhi sampah. Sampah yang mungkin setinggi gedung-gedung pencakar langit yang tampak di wajah putraku itu. Tapi tak apa, Batavia. Bersabarlah. Sebentar lagi tanggung jawabmu akan dipindahkan ke Borneo. [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #3] dipublikasi di Kompas Muda https://muda.kompas.id/2018/07/20/lelehan-lilin-pertiwi/
Sampah #2: Propelan par kontradiksi
Sampah #2: Propelan
kontradiksi
  • LECTURES 6,464
  • Votes 1,467
  • Parties 1
Aku kembali tertawa. Lucu juga bagaimana jawabannya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku. "Gue nggak bawa agama loh? Apa iya cuma karena orang yang mati ditembak itu pemuka agama dan yang nembak itu Zionis Israel gue jadi otomatis belain agama Islam? Gue kira lo pernah diajarin tentang hak asasi? Yah, gue tau bullshit banget kalo dengernya dari gue. Cuma gue capek aja sekarang buat peduli sama orang lain harus berdasarkan status dan golongan orang tersebut. Bukannya sama aja ya mereka semua manusia?" "Ya kalo lo peduli, terus apa? Emang lo bisa bantu? Lo juga nggak bisa apa-apa, kan? Jangan sok suci. Lo nggak lebih baik dari gue sama Bimo." [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #2]
Sampah #1: Bungkus Rokok par kontradiksi
Sampah #1: Bungkus Rokok
kontradiksi
  • LECTURES 16,035
  • Votes 3,105
  • Parties 1
Hampir tiga tahun. Selama itu aku berjuang setengah mati demi satu kursi kedokteran di universitas negeri. Konon katanya biayanya tidak semahal swasta. Tapi aku juga tidak ambil pusing karena pemerintah masih berbaik hati memberikan Bidikmisi. Semoga saja aku bisa lolos dengan Bidikmisi. Semoga. Ayah dan Ibu tidak terlalu berharap. Mungkin mereka tidak bilang secara tersurat, tapi aku tahu mereka lebih senang kalau aku memilih jurusan yang semesternya sedikit. Biar cepat lulus. Cepat dapat uang. [Sekarung Sampah Untuk Indonesia #1]