Melliizaaa
Taman belakang sekolah selalu jadi tempat paling absurd. Di sanalah tempat orang jatuh cinta, pura-pura lupa, atau ngumpet pas disuruh piket. Tapi hari itu, taman itu jadi saksi satu hal yang nggak pernah Amel siapin: perpisahan.
"Mell," suara Ethan pelan, tapi cukup bikin jantungnya kayak dilempar ke lantai tiga.
Amel nggak langsung jawab. Dia pura-pura fokus ngeliatin sebatang rumput liar yang tumbuh di sela paving blok. Padahal jelas-jelas, yang liar itu pikirannya sendiri. Mau jawab apa? Mau nyuruh Ethan batal? Mau bilang: "Jangan tinggalin aku?"
Gengsi.
Banget.
Ethan duduk di sebelahnya, agak jauh. Mungkin biar nggak deg-degan. Tapi percuma, jaraknya cuma setengah meter, dan deg-degannya udah kayak lomba lari estafet.
"Gue berangkat 2 minggu lagi," kata Ethan pelan.
"Oh," sahut Amel pendek.
Seperti huruf vokal yang kecewa.
"Gue bakal kuliah di Melbourne, ambil DKV. Sesuai rencana lah."
"Hebat sih."
Padahal hatinya pengin teriak, "Terus aku gimana, Thaaaan??"
Mereka diam.
Angin sore lewat dengan santai, nggak tahu betapa banyak yang nggak tersampaikan di situ.
"Gue pikir Lo bakal senang," Ethan nyengir, padahal matanya nahan sesuatu.
"Ya... senang lah," Amel senyum palsu. "Kapan lagi bisa bilang temen gue kuliah di luar negeri?"
Temen.
Kata paling nyebelin dalam semesta hubungan platonik.
Padahal kenyataannya...
Mereka berdua sama-sama suka. Tapi sama-sama nggak bilang. Karena sama-sama takut kehilangan.
Dan sekarang?
Ethan pamit.
Amel sadar... ternyata nahan perasaan lebih berat dari nahan lapar pas bulan puasa.
Cinta pertama gak selalu harus jadi yang terakhir. Tapi kenapa ya, rasanya selalu paling susah dilepasin?
Singgah kesini dongg, 😘
jangan lupaa follow Ig @amel_sept
untuk menantikan update cerita iniii