Fontaine selalu percaya bahwa keadilan harus disaksikan. Namun tidak ada yang pernah bertanya apa yang terjadi pada mereka yang dipaksa melihat terlalu lama. Cerita ini mengikuti Amerty Luciana, seorang gadis yang selamat dari sebuah peristiwa yang tidak pernah disebutkan secara utuh. Potongan-potongan ingatan menghantuinya: ruang putih tanpa jendela, suara pena yang mencatat rasa sakit, dan satu wajah yang selalu muncul sebelum segalanya menghitam. Ketika sebuah eksekusi publik mengguncang kota, Amerty menghilang dari catatan resmi. Yang tersisa hanyalah rumah kosong, keluarga yang tak pernah disebut lagi, dan rumor tentang malam yang membeku tanpa salju. Perjalanannya membawa Amerty melintasi tempat-tempat yang tidak mengenal hukum-gurun, bayangan, dan kota pengetahuan bernama Sumeru. Di sana, ia mencoba memahami satu pertanyaan yang terus menggerogoti pikirannya: apakah waktu benar-benar bergerak maju, atau hanya berpura-pura? Di balik dinding Akademiya, Amerty menyentuh ilmu yang seharusnya tidak dipelajari. Ia menemukan bahwa beberapa kebenaran tidak ingin ditemukan-dan bahwa orang-orang yang menawarkan jawaban sering kali menginginkan sesuatu sebagai gantinya. Saat ia sadar telah kembali menjadi objek, bukan pencari, sudah terlambat untuk mundur. Pelariannya mempertemukannya dengan sosok-sosok yang tidak menawarkan pengampunan, hanya tujuan. Di dunia yang tidak lagi membedakan antara penjahat dan korban, Amerty harus memilih: apakah ia ingin memperbaiki masa lalu, atau menerima bahwa dirinya telah menjadi bagian dari kehancuran itu. Dan ketika es akhirnya mencair, pembaca akan menyadari bahwa Amerty Luciana tidak pernah benar-benar berjalan menuju takdirnyaia sedang dipersiapkan untuk menggantikannya.