​"Orang lain mewariskan harta dan nama besar. Orang tuaku mewariskan trauma dan ekspektasi yang membunuh pelan-pelan." ​Bagi Shazia Dliya Azzahra, menjadi anak sulung perempuan bukanlah anugerah, melainkan sebuah kontrak investasi seumur hidup. ​Hidup di tengah teman-teman yang bergelimang harta membuat Shazia sadar betapa timpang takdirnya. Hari Minggu adalah neraka baginya. Saat teman-temannya dipeluk hangat oleh orang tua yang datang menjenguk, Shazia hanya ditemani kotak makan pemberian ibu temannya dan dering telepon yang menuntut. ​Dari asrama sekolah hingga kamar kost yang sempit, penderitaannya tak pernah usai. Ijazahnya ditahan sekolah karena tunggakan. Wisudanya sepi tanpa kehadiran keluarga. Bahkan beasiswa kuliahnya habis terkuras hanya untuk menambal lubang ekonomi orang tua dan gaya hidup adiknya. ​Shazia membenci takdirnya. Ia membenci ibunya yang terobsesi pada gengsi, dan ayahnya yang selalu memintanya mengalah. Hingga di satu titik nadir, ketika ia nyaris menyerah pada hidup, Shazia menemukan kepingan masa lalu yang mengubah kebenciannya menjadi air mata. ​Ternyata, sebelum menjadi orang tua yang menyebalkan, Ayah dan Ibu zia adalah anak-anak yang dipaksa kalah oleh dunia. ​Sanggupkah Shazia memutus mata rantai penderitaan ini? Ataukah ia akan selamanya terkubur di bawah Warisan Luka keluarganya?