AristoRamadhanGempar
Dimas menggendong tubuhku dengan mudah. Kutatap mukanya. Dia memainkan alis dan mata sambil mengurai senyum. Ah, senyum genit itu sedikit kaku dan tersipu malu. Aku tahu, dia sangat menginginkanku. Hanya saja terlalu lama berpisah membuatnya sedikit canggung.
"Apa? Dasar otak mesum," celotehku. Aku mencoba menjual mahal.
"Kan lagi pengen. Nggak mau, ya?" timpalnya sambil mengerutkan dahi.
Meski berpura-pura, momen seperti inilah yang ditunggu. Faktanya, tak ada seorang pun yang bisa menolak ajakan Dimas untuk bercinta. Aku salah satunya. Karena alasan itu, tak akan kubiarkan Dimas merasa ada yang kurang di rumah ini. Aku harus memberi aba-aba sebelum dia berubah pikiran. Ini selalu menjadi momen kedua yang mubazir untuk dilewatkan.
"Ya, udah. Bawa segera aku ke kamar!" perintahku kemudian.
Dimas tak menjawab, hanya mengambil langkah kecil. Pandangan kami beradu, sama-sama tersenyum tipis. Dapat disimpulkan bahwa dia meng-iya-kan perintahku. Dan dapat disimpulkan pula, yang hadir malam ini adalah sosok Dimas. Semoga saja Dimas datang dan tak pernah pergi. Aku rindu padamu, Dimas. Aku rindu!
"Malam ini, kamu mau gaya apa?" tanya Dimas sambil merebahkan tubuhku di kasur.
"Apaan, sih?" gerutuku seraya mengalihkan wajah. Kini giliranku yang tersipu malu.
Untuk kesekian kali, bilik ini menjadi saksi ketidaksempurnaan cinta kami. Dimas datang dengan nafsu yang menggunung. Aku ingin ditenggelamkan dalam telaga birahinya. Aku ingin melebur bersama libidonya. Hati teramat merindu saat dia merasa puas setelah menggagahiku dan meninggalkan benih.