GateliChannel
Malam yang Tidak Pernah Benar-Benar Tidur
Malam selalu datang dengan cara yang sama, tetapi tidak pernah terasa serupa. Di kota kecil yang lampunya redup dan jam dindingnya sering terlambat lima menit, malam turun seperti tirai berat-perlahan, nyaris tanpa suara. Di sanalah Aruna belajar bahwa sunyi bukan sekadar ketiadaan bunyi, melainkan ruang sempit tempat perasaan terperangkap.
Ia berdiri di balik jendela kamar, menatap jalan yang basah oleh sisa hujan sore. Lampu jalan berkedip satu kali, dua kali, lalu menyerah pada gelap. Di kaca jendela, bayangannya tampak samar-mata yang menyimpan sesuatu yang belum sempat diberi nama. Tangannya menempel di kaca, dingin, seperti ingin memastikan bahwa dunia di luar masih nyata.
Di sudut kamar, sebuah koper kecil teronggok, setengah terbuka. Pakaian-pakaian dilipat rapi, seolah Aruna mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan keteraturan. Di atas meja, sebuah buku catatan berkulit cokelat tergeletak, halaman terakhirnya kosong. Ia belum berani menulis apa pun malam ini.
Tangis itu-ia tahu-ada di dalam dirinya. Ia berdenyut pelan, menunggu kesempatan. Tetapi Aruna sudah lama belajar menguncinya. Menguncinya rapat-rapat, seperti pintu tua yang engselnya berkarat. Tangis yang keluar, pikirnya, hanya akan membuat segalanya menjadi lebih nyata. Dan kenyataan adalah sesuatu yang belum siap ia hadapi.
Jam menunjukkan pukul 00.17. Malam paling sunyi, kata orang-orang, adalah setelah tengah malam-ketika doa-doa telah diucapkan dan harapan-harapan tertidur kelelahan. Aruna duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Nafasnya teratur, terlalu teratur untuk seseorang yang hatinya berisik.