Greenlope
Marah itu pernah jadi bentengku.
Aku belajar menelan sindiran, memeluk sunyi, dan berdiri sendiri saat dunia bertanya kenapa aku masih tidak memilih. Mereka fikir aku menunggu. Mereka fikir aku kalah.
Tenang itu pernah jadi topengnya.
Dia berjalan dengan nama besar di bahunya, memikul warisan yang semua orang idamkan. Tetapi di balik dinginnya, ada luka yang disembunyikan-tuduhan, cacian, dan beban yang hampir meragut segalanya.
Aku dan dia tidak bertemu dengan manis.
Tidak dengan senyuman. Tidak dengan salam.