ElHafid9
Angin timur berembus, bukan sekadar membawa aroma
rempah dan debu padang pasir yang jauh, melainkan juga
bisikan-bisikan masa lalu yang tak pernah Azzam
lupakan. Di sudut kota Kairo yang riuh rendah, dalam
balutan gamis putih dan peci yang sedikit lusuh, Azzam
duduk di hadapan tumpukan kitab-kitab filsafat Ibnu Sina
dan Al-Ghazali. Jemarinya yang ramping sesekali
menyentuh lembaran kertas, namun pikirannya melayang
jauh melintasi benua, menuju sebuah desa kecil di pelosok
Jawa Timur. Ia adalah santri kinasih dari sebuah pesantren
sederhana di sana, namun otaknya telah ditempa selama
delapan tahun di Al-Azhar, salah satu universitas tertua di
dunia, tempat para ulama besar pernah menimba ilmu.
Cita-citanya mulia: menjadi seorang ulama yang
menguasai ilmu dunia dan akhirat, mengabdi untuk umat,
menebar cahaya ilmu hingga ke pelosok-pelosok. Namun,
di balik tumpukan buku yang menjulang tinggi di
hadapannya, ada kegelisahan yang mengendap seperti
ampas kopi. Sebuah surat dari Kyai Hamdan, gurunya,
telah tiba beberapa hari lalu. Isinya tak hanya kabar
pesantren, melainkan juga sebuah kalimat yang menusuk
kalbunya, menghantam dinding-dinding rasionalitas yang