Cerita aksi biasanya didominasi oleh cowok baik yang teraniaya. Kadang cowok ganteng yang agak dingin, atau bahkan orang kaya tujuh turunan. Ada lagi yang miskin dan clueless. Heru? Haha... Dia jauh dari itu. Pertama dia nggak manis, cantik apalagi. Dia cowok! Berbatang, berbiji dua. Boro-boro manis, buluk iya! Wajahnya kusam gara-gara sering panas-panasan. Dia hobi main bola, makanya dia ikut ekskul PMR. Lah?
Tingkahnya jauh dari kesan manja ala cowok kaum bawah. Tingkahnya lumayan hiper. Ah, nggak! Oke, sangat hiper. Bahkan Heru sering disuruh duduk di bangku guru ketika ulangan. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kerusuhan dan kekhidmatan prosesi ulangan. Iya, sebesar itulah pengaruh Heru di kelas! Serusuh itulah tingkahnya selama ini.
Yang terakhir, dia naksir seseorang. Nah, itulah yang membuktikan Heru sebagai kaum atas. Pokoknya dia adalah cowok yang bertugas menyerang. Striker!
Heru percaya diri dengan kemampuannya, tapi dia patah hati di akhir. Orang itu menolaknya demi sepupu macho ganteng yang agak kurang normal. Heru belum sempat meratapi nasibnya karena "pengganti" orang itu tiba-tiba mendeklarasikan diri secara paksa. Dalam bentuk cowok macho, mas-mas jurusan kedokteran yang terobsesi dengannya. Heru mikir lama soal ini.
Dulu dia pernah bertemu mas-mas macho itu. Waktu Gigih masuk rumah sakit. Ada sedikit kecelakaan yang mengharuskannya berurusan dengan Mas Bejat. Kenapa? Namanya memang Bejo Jatmiko. Apalagi saat Mas Bejat mengejar-ngejarnya tanpa ampun, seolah-olah meminta pertanggungjawaban atas apa yang terjadi di rumah sakit waktu itu. Mas Bejat mupeng sekali mengganggunya.
Sejak pagi, ke siang, tembus sore, malam Mas Bejat punya hobi baru mengganggu Heru. SMS, BBM, bahkan telepon tengah malam karena Heru terlambat membalas pesannya.
Ada sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik pabrik swasta yang dihibahkan untuk transportasi anak sekolah. Aku harus terdampar di sekolah kumuh ini karena tawuran kolektifku. Kedua orang tuaku menyerah, lalu melemparkanku ke sekolah ini. Prinsip mereka adalah : Lebih baik dipindahkan ke sekolah terpencil daripada harus diDO.
Jadi aku sampai di sekolah "ajaib" ini, tinggal bersama nenekku yang konvensional.
Sekolah yang hanya terdiri dari sembilan kelas, dengan penghuni nggak kalah ajaibnya. Belum lagi nggak ada transportasi yang bisa membawaku pulang atau berangkat sekolah. Aku harus bertahan dengan segala kejahilan geng tengil ini.