Tetesan hujan jatuh dengan lembut di atas telapak tanganku. Senyumku pahit, mengenang betapa engkau dulu sangat melarangku bermain di tengah hujan. Mengingat betapa hal itu membuatku merasa sangat dihargai.
Aku menoleh, dan tetiba nampak olehku kau berjalan menghampiriku. Kau hanya membisu, padahal batinmu tahu, aku menunggu pamit. Pamit yang tertahan entah dimana, membuat semua hal terasa kian rumit.
"Aku pergi. Harusnya kau tahu itu-", benakmu.
Senyum tipis dinginmu seakan ungkapkan itu padaku.
"Tetapi, mengapa?" Pikirku.
"Seharusnya kau bisa menerkanya. Seharusnya kau relakan aku pergi dari hidupmu. Seharusnya tak ada lagi puisi-puisi itu." Masih hening. Matamu yang seolah mengatakannya padaku.
Aku berbalik, tak pedulikan senyum itu yang masih saja menggantung tanpa rasa bersalah. Rerintik hujan turun kian deras. Daun-daun meranggas seiring dilema antara pasrah dan ketidakrelaan. Bibir ini membisu, dan lagi-bulir air jatuh kembali dengan lembut, di atas pipi.
#463 dalam chicklit (8 januari 2018)
#311 dalam chicklit (13 januari 2018)
#253 dalam chicklit (14 januari 2018)
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya. benarkah itu?