Diam. Bisu. Itulah yang bisa kulakukan. . "Maaf ya. Aku memutuskan untuk bersamanya," katamu kemudian. . Duhai ombak di sana. Kumohon hadirkan tsunami saat ini juga. Biar kubandingkan, apakah amukannya lebih dahsyat dari apa yang sedang bergolak di hatiku? . Apa tadi kamu bilang, kamu melepasku dan memilihnya? Semoga aku sedang salah dengar. Yaa, Allah... . Kamu menoleh dan aku pun juga. Mau tak mau, akhirnya sepasang mata kita saling bertabrakan. Menghancurkan segumpal daging dalam dada. Tatapan itu begitu menusuk-nusuk jantung ini. Aku curiga, itu tatapan perpisahan. . "Maaf, aku harus pergi," pamitmu, "jaga diri baik-baik ya." . Aku terdiam. Setetes embun mengalir lembut di pipiku. . Baiklah. Dalam hal ini, aku tidak ingin menyalahkan siapa pun termasuk jodohmu. Dia tidak bersalah, kan? Jadi padanya, bersetialah. Jangan sedetik pun terbersit untuk kembali kepadaku. . Pergilah.... . Gamit lengannya di depanku. Aku berjanji saat siluet punggung kalian menghilang dari pa