Sebuah rumah besar berdiri dengan angkuhnya dengan penerangan lampu agak remang-remang. Seorang anak lelaki yang cengeng sedang menangis yang selalu mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Matanya yang berwarna biru laut indah kini terlihart begitu sembab. Ia selalu menangis dan menangis bersembunyi di kegelapan yang berada di ujung ruangan. Tangan mungil pucat itu, menutupi telinga mungil yang sudah mulai terasa panas mendengar umpatan tak berguna yang dilontarkan oleh sang ayah, lalu matanya bening birunya ia penjamkan sekuat-kuatnya. Cairan bening itu pun belum berhenti sedari tadi Seorang Alfino tak akan pernah menyukai sekolah. Hatinya sudah lama mati, karena kegelapan akan selalu berdampingan dengan dirinya. Ibu nya terluka karena dirinya. Kehancuran, kesedihan, kehampaan. Dunia ini tak ada yang benar-benar berarti untuk seorang Alfino.. karena yang berarti baginya hanyalah ibu. Untuk pertama kalinya Alfino memiliki keinginan, sebuah keinginan sedarhana namun sulit untuk digapai karena dirinya tak ingin menyakiti ibunya lagi. Yaitu Mati bersama ibunya. "M..Maafkan Aku ibu! Maaf.. sesak ibu.. aku kesakitan, tolong aku. Aku mau mati ibu! Aku mau mati saja!" "Aku ingin mati ibu" "Aku ingin mati ibu" "Aku ingin mati ibu" "....Ingin ibu" "....Bersama ibu..aku.." "Aku mau bersama ibu selamanya"