Matahari bersinar begitu terik, tapi tidak sampai menyengat karena hawa di lereng gunung membuatnya sejuk damai. Bukan apa-apa, hanya saja sinar itu masih bisa menembus celah-celah dedaunan yang akhirnya menyapa sebagian pipi dan mataku. Aku berusaha menikmati setiap sapann sinar itu, dengan angin semilir dan suara-suara alam membuat hati ini semakin tenang, setenang aliran parit di sebelah kananku. "Berapa lama kamu duduk disini?" "Tidak lama, mungkin duabelas menit saja." "Apa kamu yakin?" "Ya, saya yakin. Hidup ini terlalu mengerikan jika kau hanya menjadi budaknya. Coba sebentar saja kamu duduk seorang diri, menikmati sajak-sajak alam. Akan kupastikan kamu merasa tenang. Bahkan kamu merasa memang benar-benar hidup." "Hidup, ya benar sekali, hidup.. Apa kamu juga yakin bahwa esok hari kau masih hidup?" "Aku tidak yakin akan hal itu. Seandainya saja aku bisa menjamin bahwa duabelas detik yang akan datang aku masih bisa bergurau denganmu, bahkan masih bisa bernafas. Tak terprediksi, maka dari itu sebelum aku pergi meninggalkan bumi ini, aku tidak mau menyesal karena ak lou menjalani kehidupan yang datar. Aku mencoba keluar dari zona nyamanku, menjadi pribadi yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Meski aku mengambil resiko besar, aku pasti akan senang jika aku pergi dengan keadaan bibir yang tersenyum dan hati yang begitu ikhlas. Merasa nyaman. Hingga aku lupa pedihnya hidup di dunia." Dialog Sania dengan lelaki misterius.,