"Tolong maafkan kakak. Maaf karena kakak kau menjadi layaknya boneka. Maafkan kakak.." tangisnya semakin menjadi-jadi setelah melihat keadaan adiknya terbaring kaku di atas lantai. "Kakak.." tiba-tiba adiknya memanggil perempuan bersurai coklat itu dan tangannya berusaha meraih pipi halus milik kakaknya. "Mika.. Tolong jangan bergerak, kakak akan panggilkan bantuan segera." ujar kakaknya dengan menahan air mata, dia tidak ingin terlihat lemah di depan adiknya sendiri, lagi. "Tidak kak, Mika tidak apa," ujar adiknya, Mika. Terlihat sekali sedang menahan perih di sekujur tubuhnya karena teror yang terus dilancarkan para penjilat harta itu. "ini, kubawakan syal sesuai janjiku, kak. Kuharap kakak menyukainya." lanjut Mika, kakaknya semakin ketakutan. Dia berusaha memeriksa denyut nadi adiknya itu, namun nihil. Kini dihadapannya sudah bukan makhluk hidup lagi. Dia sudah meninggal. "Mika? Mika... Tolong tunggu sebentar lagi.." ujar kakaknya masih histeris dengan menggendong adiknya itu penuh kasih sayang hingga tak menghiraukan keadaan sekeliling yang sudah porak poranda akibat demo para aristokrat serakah itu. Peperangan harta memang mengerikan. Menjijikan memang. Kota yang dulu didaulat sebagai kota terdamai, kini sudah menjadi kacau balau. Kami yang hanya rakyat biasa terus menerus diteror dengan hal yang seharusnya bukan urusan kita. Politik sialan itu terus menerus mengincar kita, para rakyak kecil. Apa jadinya esok? Tidak, aku salah, tak ada lagi hari esok. Yang ada hanya ketakutan, ketakutan, dan ketakutan dimana-mana. Dunia ini, entah bagaimana nasibnya.