kau kembali

Tanpa sadar aku menjatuhkan tumpukan buku yang membebani lengan kecilku tatkala kedua bola mataku terpaku dan berharap itu bukan kau.
Aku kacau. Sesegera mungkin aku bangun untuk kesadaranku bahwa itu memang kau.

Sekitar sepuluh detik aku mengeja namamu dengan beberapa kendala dari lidahku yang kelu karena lama sekali aku tak kusebut namamu dalam doaku. Ah, sudah lama sekali rupanya.

Buku, aku menjatuhkannya. Segera kuambil tanpa keraguan namun, tanganmu pula yang membantu kesialanku hari ini karena bertemu denganmu.

Ceroboh, iya aku masih seperti dulu. Hingga harus berulang kali memperbaiki mimik wajahku agar tetap terlihat baik-baik saja. Tanpa kusadari betapa konyolnya aku hari ini.

Dan dengan santainya kau bertanya bagaimana kabarku. Biar kujelaskan..

Aku tak tahu apa penawaranmu kedepan untukku, bagiku kesendirian yang jauh lebih dulu menyapaku adalah hal yang lebih baik dibandingkan mengulang luka lama. Sebab kau tak tahu arti trauma untukku. Bagaimana tidak, usaha kerasku untuk melupakanmu, hingga harus berulang kali menyesali pertemuan kita, hingga aku tak bisa makan dengan baik. Itu lebih buruk dari penyiksaan. Pengharapan untuk tangan hangat yang kiranya bisa membawaku pergi, untuk sebuah cerita konyol tentang diriku yang masih terbiasa berdoa untukmu. Jangan kembali, aku ingin sendiri.