Seberapa banyak "sebentar" yang kita lontarkan dalam sehari? Seberapa banyak "nanti" yang telah membuat kita menunda keputusan penting dalam hidup kita? Berapa sebenarnya akumulasi dari "sebentar" dan "nanti" yang sudah kita lewatkan seumur hidup kita? Atau mungkin dua tahun terakhir? Mungkin sebenarnya jumlahnya mendekati tiga bulan. Waktu yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan sebuah deadline yang akhirnya harus dikejar secara super maraton dalam waktu 42 jam tanpa tidur. Bila kita menyadarinya, kenapa kita masih saja selalu mengatakan sebentar dan nanti? Jawabannya mungkin, "karena kita masih muda", masa dimana setiap orang melakukan kesalahan dan mengambil pelajaran dari kesalahan kita kemudian berharap untuk tidak mengulanginya. Meski akhirnya terkadang kita terjebak dalam kondisi yang relatif sama dan berakhir dengan kesalahan yang sama juga.
Cerita ini muncul ketika pengerjaan Tugas Akhir yang "sangat menyenangkan", ketika beberapa orang yang merasa senasib dipersatukan, dan ketika akhirnya kami duduk di kursi sebuah perusahaan besar super sibuk tanpa sebuah pekerjaan. Serta ketika kami akhirnya menyadari sesuatu dan berkata, "Oh man, this is just a half of the real world".
Mungkin sebenarnya bukan empat gelas kopi dengan kadar kafein rendah yang membuat kami mampu terjaga hampir dua malam berturut-turut, tapi karena kami mulai menyadari bahwa "ini" adalah suatu tahapan yang harus dilalui. Sama seperti ketika kami semakin keras berteriak untuk menghibur diri dengan, "Hey you! This world is not just about ****ing thesis!" sebenarnya kami semakin menyadari kalau "the next step of our life won't begin without finishing our thesis first."
Seperti kata Gusti, this life is simple selama kita tidak mempersulit segala hal yang sebenarnya mudah. Tapi sayangnya, terlalu sering kita mempersulit keadaaan dengan mencari pembenaran atas kerumitan yang kita perbuat.
Prisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas dari jerat derpresi saat melihat Paradikta justru kembali ke dalam hidupnya dengan aroma-aroma depresi yang sangat dia kenali.
"Kamu pikir, kematian bakal bawa kamu ke mana? Ketemu Saniya? Kamu yakin udah sesuci dia? Jangan ngimpi Radi!"
"Mimpi? Ngaca! Bukannya itu kamu? Menikahi saya itu mimpi kamu kan?"
Dan, Prisha tahu jika Paradikta yang dua windu lalu dia kenal saat ini sudah tidak lagi ada.