"Kata Eyang Putri, kalo udah gede nanti kamu jadi suami Nia."
Gue mengangguk lagi. Nyonya Bayutama juga gue denger membicarakan hal yang serupa dengan Eyang gue. Seharusnya, ketika kita umur sepuluh tahun, dan ada orang yang memastikan dengan siapa nanti kita menikah, gue harusnya nangis, kabur, apalah aksi heroik lain untuk menyelamatkan diri gue. Tapi waktu denger tentang rencana ini, gue saat itu cuma... oke. Mungkin ini bukan ide buruk. Mungkin gue bisa kabur-kaburannya ntar dulu, setelah gue kenal sama siapa yang akan menjadi istri gue di masa depan.
Atau mungkin, takdir memang bisa ditentuin sama orang-orang tua di kehidupan kami. Jadi gue cuma perlu melanjutkan apapun itu yang udah mereka pastikan. I just need to do an act of destiny.
Jadi gue membalas kalimatnya dengan bertanya tak acuh. "Terus kenapa?"
-
Intersection's Spin-off
-
Baru beberapa kali bertemu, dua manusia berbeda jenis kelamin itu memilih untuk melangsungkan pernikahan.
Mereka menikah bukan karena cinta. Mereka juga bukan menikah kontrak seperti yang dilakukan tokoh fiktif di dalam drama atau novel. Mereka menikah atas kemauan sendiri.
Menikah, hidup satu atap, tapi mereka fokus pada diri masing-masing. Terlalu aneh menyebut hubungan mereka sebagai pernikahan, tapi nyatanya mereka menikah sah secara hukum dan agama.
Karena perkenalan yang terlalu singkat, membuat mereka menyadari betapa berbedanya kepribadian satu sama lain. Ada saja hal-hal kecil yang mereka perdebatkan.
Bisakah mereka hidup bersama meski tanpa cinta? Atau justru cinta akan datang seiring kebersamaan mereka?