"Sayang, jika kamu tidak pernah berniat mendua. Tentu dia tidak akan pernah datang dan memperkenalkan dirinya sebagai orang yang kamu beri harapan." aku memaksakan tersenyum.
"Jika kamu memang sangat mencintaiku, seperti yang sering kamu katakan. Pasti kamu tidak akan membawanya ke dalam damai kita." lanjutku masih tersenyum.
"Sekarang, kedamaian kita sudah hancur. Bahkan rencana-rencana indah kita, kamu rusak semuanya. Jika maaf yang kamu minta, aku sudah memaafkannya. Tapi jika kamu memintaku kembali, maaf, hatiku sudah mati."
NOTE : Lebih seperti curhatan dibanding novel. Namun, ada pesan luar biasa yang tersimpan dalam cerita ini. *Semoga ya.
Mungkin ada yang ceritanya sama, mari saling mengenang. Selanjutnya terserah kalian, tetap mengenang atau lupakan. :)
Happy Reading. :P :)
Baru beberapa kali bertemu, dua manusia berbeda jenis kelamin itu memilih untuk melangsungkan pernikahan.
Mereka menikah bukan karena cinta. Mereka juga bukan menikah kontrak seperti yang dilakukan tokoh fiktif di dalam drama atau novel. Mereka menikah atas kemauan sendiri.
Menikah, hidup satu atap, tapi mereka fokus pada diri masing-masing. Terlalu aneh menyebut hubungan mereka sebagai pernikahan, tapi nyatanya mereka menikah sah secara hukum dan agama.
Karena perkenalan yang terlalu singkat, membuat mereka menyadari betapa berbedanya kepribadian satu sama lain. Ada saja hal-hal kecil yang mereka perdebatkan.
Bisakah mereka hidup bersama meski tanpa cinta? Atau justru cinta akan datang seiring kebersamaan mereka?