Setiap rintik hujan adalah tangisku. Setiap gemuruh adalah amarah pada semesta yang sembunyi di balik awan hitamku. Aku nyaris lupa rasanya hangat, tenang, damai, dan bahagia rupanya seperti apa. Hatiku hampir benar-benar beku. Sampai senja kala itu datang, saat aku sibuk menunjuk diriku sebagai manusia terbodoh yang sedang memijaki bumi, ada yang sempat mampir sejenak. Belum lama menyapa lalu pamit kembali. Sayang, Tuhan hanya membiarkanku sekedar tahu keberadaannya. Entah siapa namanya, asalnya, sifatnya, aku tidak tahu. Meski begitu, aku kerap memanggilnya Mentari, dan semoga saja memang begitu. Karena hati kecilku bilang, dia akan datang lagi. Jadi ini jurnalku, saat hujan mampu benar-benar pergi dari singgahnya yang lama.