1 part Ongoing Setiap hamba bernyawa memiliki takdir yang tak selalu dapat diubah. Aza, dengan segenap usaha dan keyakinan, percaya bahwa ia dapat menulis takdirnya sendiri. Ia tekun belajar, giat bekerja, rajin menabung, hingga tak pernah lelah mengusahakan segala kemungkinan. Semua itu demi satu cita-citanya yang ingin menjadi seorang dokter. Semua ia peroleh, kecuali satu, yaitu izin. Ketidakhadiran dukungan orang tua membuat impiannya luruh begitu saja, mengharuskannya berjalan di atas takdir lain yang ditulis untuknya.
Namun, bukan hanya cita-cita yang harus ia relakan. Perkara hati pun menuntut pengorbanan yang sama. Kali ini bukan karena restu yang tak ada, melainkan karena masa lalu yang pernah ada. Berkat kedua orang tua, ia menerima perjodohan itu dengan bahagia. Akan tetapi, di malam yang seharusnya membuat hati berbunga-bunga, justru menyisakan elegi yang tak akan sirna.
Malam itu, calon suaminya menggenggam erat tangan wanita lain, menemui Aza dengan maksud membatalkan rencana pernikahan yang waktu pelaksanaannya hanya tinggal menghitung jam. Alasannya bukan karena Aza tak dicintai, melainkan karena bayang-bayang perasaan yang belum usai. Ironisnya, wanita itu bukanlah orang asing bagi Aza, ia adalah sahabatnya sendiri, yang diam-diam membawa luka dalam tawa. Akankah Aza segera melepas takdir, atau memaksanya untuk terus hadir? Atau bahkan, menemukan takdir tersurat yang tak pernah disangka-sangka?