Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75) Carok dalam bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan," papar Ibnu Hajar, budayawan Sumenep. Sebenarnya budaya carok yang sudah menjadi ikon bagi orang Madura, sampai detik ini masih belum jelas asal-muasalnya. Berdasarkan legenda rakyat, adalah bermula dari perkelahian antara Pak Sakera dengan dua bersaudara, Markasan dan Manbakri, yang antek-antek Belanda.
Pada abad ke-18 M.Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, JawaTimur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas selanjutnya adalah celurut. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadikaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa.
Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada' tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas dendam.
Zulkarnain, dkk. (2003: 80) Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan.