Dari TK hingga SMP, El bersekolah di sekolah swasta Katolik. Namun di Situbondo, kota yang mendapatkan julukan Kota Santri itu, sekolah swasta Kristen-Katolik hanya terbatas hingga SMP. Karenanya, El yang meski Cina--tapi bukan berasal dari keluarga yang berada--mau tidak mau melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri.
Seperti yang sudah diketahui banyak orang, di Indonesia kata "Cina" punya konotasi yang tidak enak. Untuk ngucap "Orang Cina juga manusia," bukan saja terdengar klise, tapi pun bertentangan dengan prasangka yang berakar sejak purba. Dan, hingga di zaman El pun, persoalan itu belum ada pemecahannya.
Meskipun pada masa kanaknya El bersekolah di sekolah swasta, itu bukan berarti El tak pernah mengalami pengalaman terasing dalam pergaulannya. Mungkin tak ada masalah dalam lingkungan sekolahnya yang mayoritas Cina dan beragama Kristen-Katolik, meski ada juga yang beragama Islam dan keturunan pribumi. Tapi enggak ada masalah. Namun, di lingkungan rumahnya, anak-anak sekampungnya, hampir setiap hari mengolok-oloknya, melempar pintu gerbangnya dengan batu, membuang mercon ke halaman rumahnya, bahkan suatu ketika pernah meludahinya, dan El tak diam.
Karena diam menurutnya keliru. Karena diam tak lagi mengalah, tapi kalah. El bergelut melawan anak-anak sekampungnya, meski kalah, karena sendirian, tapi El mendapatkan kehormatannya kembali, bahkan pergaulannya dengan anak-anak sekampungnya jadi cair.
Tahun ajaran baru dimulai, dan El resmi jadi murid SMAN 1 Panji. Belum lagi sehari di sekolah barunya, El sudah dikeroyok oleh Fendi dan gengnya. Tapi dari banyaknya buku-buku yang telah dibacanya dan pengaruh si Putih, sekarang bukan lagi zamannya otot dikasih unjuk, maka El menghayalkan semuanya bisa diselesaikan dengan cara kelembutan. Namun khayalan tetap khayalan, sulit jadi nyata, jangankan khayalan, kadang teori tak sejalan dengan praktik. Apalagi khayalan?
Sinopsis lengkapnya, dua halaman lebih. Capek ngetiknya...
Segini aja ya.Todos los derechos reservados