"Kamu tuh ya, panas-panasan mulu. Lihat kulit kamu, item gitu. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang dekil kayak kamu." "Kata ulang ditambah akhiran 'an' artinya mainan. Panas-panasan berarti panas mainan, ya kan, Mi?" olokku dengan tampang polos. "Pengalihan issu!" bentak umi. "Kalau kayak gini kapan Umi gendong cucu, Lucky?" "Oh ya, Mi ... Anaknya Pak Udin di sebelah sana tuh," tudingku ke samping rumah. "Si Cici, kemarin malam lahiran. Masa Umi enggak tau?" "Si Cici? Masa sih, siapa suaminya?" Umi tampak penasaran. "Umi ketinggalan berita nih, udah cari informasi dulu sana sama bi Yuyun," kataku. Bi Yuyun itu pembantu di rumahku. "Kamu benar," tandas umi. Mata umi berkilat penuh rasa penasaran, ia bangkit dari ujung ranjangku. "Eh tunggu!" "Apa, Mi?" "Cici itu anak Pak Udin yang nomer berapa ya? Kan anak Pak Udin banyak," ujar umi. Aku mengedarkan mata ke sana-sini mencari ide. "Lucky lupa, Mi. Tanya Bi Yuyun aja." "Pinter!" Umi menepuk pundakku pelan sambil berlalu keluar kamar. Aku pun bisa bernapas lega. Setidaknya topik 'cucu' yang sudah kuterima untuk kesekian kali itu bisa benar-benar teralihkan. Segera kukunci pintu kamar, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Prediksiku tepat, tidak berapa lama umi teriak, "LUCKY! KAMU NGIBULIN UMI YA! CICI ITU ANAK KUCINGNYA PAK UDIN!"
15 parts