7 parts Ongoing PAS NGOPI
Di sudut kampung yang sunyi, di bawah rindangnya pohon jati tua, berdiri sebuah warung kopi sederhana. Atapnya dari anyaman daun kelapa, dindingnya bilah-bilah bambu yang sudah menguning dimakan usia. Di dalamnya, meja-meja kayu kasar dan bangku panjang yang sudah licin karena sering dipakai. Warung itu bukan sekadar tempat minum kopi, melainkan ruang berkumpulnya para petani, tukang becak, dan nelayan setelah seharian bekerja. Mereka duduk melingkar, menyeruput kopi hitam pekat dari cangkir-cangkir tanah liat, sambil berbagi cerita tentang hidup, tentang tanah, tentang laut.
Kopi yang disajikan bukanlah kopi impor yang mahal, melainkan kopi tubruk asli, digiling manual, diseduh dengan air mendidih dalam teko besar. Aromanya menusuk hidung, rasanya pahit tapi membangkitkan semangat. Di warung itu, kopi bukan sekadar minuman, melainkan simbol kebersamaan, kejujuran, dan kesederhanaan. Di sana, filsafat hidup mengalir begitu saja, dari mulut ke mulut, dari hati ke hati.
Namun, zaman bergulir. Warung-warung kopi tradisional perlahan mulai berubah. Di kota-kota besar, muncul kedai-kedai kopi modern dengan interior tempat berkumpul para petani atau nelayan. Ia menjadi ruang bagi anak-anak muda dengan laptop dan gadget canggih, sibuk dengan dunia maya. Percakapan tentang hidup dan alam berganti dengan obrolan tentang bisnis, politik, atau sekadar gosip selebriti. Kopi, yang dulu menjadi simbol kesederhanaan, kini menjelma menjadi gaya hidup. Harganya pun melambung, seolah menjadi penanda status sosial..