PEMBERITAHUAN #kisah Gus Riter ini dengan terpaksa saya hentikan di part 15. Setidaknya ada tiga alasan mengapa demikian: Pertama, responnya dari teman-teman kurang. Mungkin kurang dramatis, kurang romantis, kurang bombastis, kurang gaul maklum authornya jaman old hehehe. Kedua, author kira, Part selanjutnya bisa dikembangkan teman-teman yang sudah membaca. Ketiga, part selanjutnya akan saya tulis off-post di gadget saya aja lalu akan saya terbitkan secara self publisher. Saya sudah menerbitkan tiga buku secara mandiri. Mohon doanya untuk buku keempat ini. Yang jelas, Gus Riter merupakan sepenggal pengalaman author yang sempat dipercaya oleh seorang artis menulis kisah tragis adiknya. Namun sampai sekarang buku itu belum kelar dengan berbagai kendalanya. Seorang penulis bisa berkarya untuk orang lain sebagai hantu yang baik. Sebagai Gus Riter.... Salam ---------*****------------- Suasana Pondok Pesantren An Nahdliyah sepintas tampak lengang. Terdengar dengung seperti suara lebah yang merayapi hampir semua kawasan bagian depan pondok yang berada di kaki Bukit Tlekung itu. Suara puji-pujian kepada Tuhan. Dzikir yang dikumandangkan para santri bersaut-sautan, antara kelompok santri yang tengah mengaji Al Quran di masjid utama dan mereka yang berada di dalam kelas-kelas. Sebagian berdiri sambil membaca kitab dalam ukuran sangat kecil, bersandar pada dinding bangunan yang bercat hijau, dengan mulut yang tak henti-hentinya membaca firman Allah. "Mereka santri tahfid sedang menghafal ayat-ayat Al Quran." Ustad Tadjudin menjelaskan kepada Andy yang bengong melihat aktivitas di pondok pesantren itu. "Yang di sana apa juga bagian dari pondok sini, Ustad?" Andy menunjuk sejumlah bocah yang duduk di depan rumah sederhana, dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Mereka juga membawa kitab dalam ukuran kecil. "Ya, sama. Kami sedang mencari tempat yang lebih layak untuk mereka. Mereka juga santri tahfid." "Kasihan...!?" "
15 parts