UDARA kala itu sangat menyengat tubuh. Langkah gonta menapaki bebatuan terakhir di Cadas akhirnya berakhir. Mella duduk bersandar dibawah pepohonan dengan daun dan ranting yang begerak tak tentu arah.
Diperistirahatan itu Mella melepaskan tas ranselnya dari pundak dan meletakkannya diantara dua kakinya yang sejajar. Dipeluknya ransel itu dengan erat, serta berbisik; "Hai teman, akhirnya kita sampai...".
Tak lama kemudian Mella mulai disibukkan dengan perhatiannya disekeliling Cadas yang mulai tak bersahabat. Udara semakin kencang, dingin, kabut terlihat jelas sedang berteduh di Puncak Gunung Marapi.
Mella memerhatikan kancing-kancing dan penutup ranselnya, mengeluarkan sebuah penutup kepala, lalu memakainya. Mengambil kain selempangdan mengelilingkannya pada leher, dan menutup ransel serta merapihkannya kembali.
Lukisan awan yang bertaburan, sekelebat kabut itu agaknya tak mungkin sebentar menampilkan atraksinya diatas langit. Mella semakin sadar bahwa perjalanan yang dilakukannya kali ini bukan main-main. Karena sebelum berangkat ke Gunung Marapi, Mella sempat menulis pesan singkat dan diletakkan diatas meja belajarnya.Sebuah pesan yang mampu menyayat hati Ria, Ibu Mella.
Setelah sibuk memerhatikan kabut yang menari-hari bersama awan diatas puncak Marapi, tiba-tiba sekujur tubuh Mella menggigil. Butiran keringat keluar dan membasahi baju yang dikenakannya.Napasnya terasa sesak dan berat. Dipeluknya erat ransel itu, semakin erat, semakin dalam. Awan dan kabut putih penuh aksi itu berubah menjadi hitam, angin semakin gila menampar-nampar pohon yang berdiri disebelahnya, suara daun dan ranting pohon semakin riuh, bergesekan, membentuk suara, nada, alunan musik alam yang sedang murka. Mella semakin bingung, gelap, dan akhirnya Ia tak sadarkan diri.
Elliot Jensen and Elliot Fintry have a lot in common. They share the same name, the same house, the same school, oh and they hate each other but, as they will quickly learn, there is a fine line between love and hate.