Ya. Aku mengerti. Ini bukan pertama kalinya kau bilang padaku untuk berpisah saja. Aku bahkan tak bisa menghitung lagi, seberapa sering kata itu kau ucapkan. Dan aku tetap dengan bodohnya mengajakmu untuk bertahan. Karena aku yakin, sayangmu hanya sejenak pudar, nantipun akan kembali lagi.
Aku tahu, dalam hubungan kita hanya aku saja yang berusaha, hanya aku sepihak. Kau datang saat aku kau butuh, lalu pergi saat kau aku butuh. Kau datang dengan cerita sedihmu, sedang aku selalu siap dengar keluh kesahmu. Kau memang membagi bahagiamu padaku juga, tapi hanya untuk membuatku merasa dihargai, sedikit. Atau setidaknya membuatku bertahan disisimu sejenak untuk menghiburmu. Kau lampiaskan marahmu pada aku, sang patung penampung luka.
Betapa bodohnya aku saat itu, mencintai hingga lupa jati diri. Terasa seperti jadi badut pribadimu, yang kau permainkan sesuka rasa.
Sekarang, kau mengulanginya lagi, mengatakan pisah. Tadinya ku kira kau berubah, ternyata sama saja. Aku memang cukup bodoh membiarkan semua ruang dihatiku terisi oleh obsesiku membuatmu mencintaiku. Dan ternyata tak berhasil juga.
Kau mungkin mengira aku akan menahanmu pergi. Tidak. Tidak kali ini. Hatiku sudah terlalu banyak belajar tentang luka. Lelah rasanya. Kini, kau boleh pergi. Pergi sesukamu, kemana saja, jangan kembali, disini sudah tak ada lagi ruang kosong. Pergi, dan bawa semua kisahmu pada mereka diluar sana.
Aku tak mau bersikap munafik, yang berharap bahwa kau akan temukan yang lebih baik di luar sana. Bagaimana bisa aku berharap yang terbaik sementara hatiku masih penuh balutan luka karenamu? Mengertilah, aku disini yang terluka. Maaf juga tak bisa mengubah keadaan, setidaknya saat ini. Karena itu, pergilah. Aku tak akan lagi menahanmu.All Rights Reserved