Sofa merah serta darah yang sudah mengering di kepalan tangan. Aku merebahkan badan menuju rembang malam dengan hati getir penuh duka, sengsara dan hilang akal pula. Ada bagian pecahan-pecahan yang berserakan di seluruh penjuru waktu yaitu hati yang jatuh penuh kekecewaan. Asap yang mengudara memenuhi setiap ruangan lantaran amarah membara di tungku pembakaran hingga menggelora. Mataku bengkak sebab air bah yang tak mampu kubendung, bandang mendobrak.
Ketika hati dan pikiran tak mampu berkompromi lagi, kematian menjadi sesuatu yang kuharapkan lebih dari harapan-harapan anak rubah yang berlarian kesana kemari menikmati kehidupan. Aral melintang bagiku, lantaran getir memenuhi jiwa.
Aku tatap langit-langit dengan mata merah menyala seraya berdoa dengan gemetar, "Lebih baik mati tapi hidup, daripada hidup tapi mati. Kematian bagi kedua orang tuaku"
Pikiran irasonal berkecamuk, serta sang setan terus berbisik di daun telingaku. Aku memejamkan mata, letih.