Dalam Hitamnya Cerita

Bagi orang lain ini tidak akan menyenangkan. Mereka bisa muak dan langsung membuang cerita yang terkesan hanya sebuah bualan. Namun guru itu terus saja menceritakan kisahnya. Sebagai seorang guru, dia sudah kehilangan jabatan. Dia dilaporkan ke kantor dinas yang menanganinya. Dari laporan inilah dia dilepaskan dari tugas gurunya.

Mestinya dia bisa membela diri! Betul. Tetapi itu yang tidak dia lakukan. Seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya, dia membiarkan posisi bebas tugas itu sampai dua tahun lamanya. Tidak lagi mungkin mengelakl Jalur pikirannya berbeda dengan mereka yang mengagungkan jabatan. Dia kalah dengan pejabat penentu kebijakan yang menyatakan diri sebagai orang yang berkuasa.

Apa masalah yang sebenarnya terjadi? Sepatah kata pun tidak terungkap. Pejabat yang telah dua atau tiga kali menandatangani surat tugas kepindahannya tidak mau melakukan kompromi lagi. Dia merasa berwenang melakukan keputusan yang dianggapnya benar. Apalagi dia mendapat dukungan dari pejabat-pejabat lain di bawahnya. Kekuasaan mutlak.

Apakah guru itu sedih? Ini pertanyaan konyol. Secara jelas dia menjadi kalut, bingung dan bahkan frustasi. Banyak pembicaraan di kalangan pendidik di kota itu. Tersebar berita kalau depresi yang dialaminya itu sudah sangat parah.

Guru itu manusia biasa. Sama seperti orang lain, susah dan senang bisa terjadi kepada mereka yang memilih jalur pendidikan sebagai dunianya. Sementara itu, di dunia pendidikan, moral itu menjadi pemikiran utama yang mengemuka. Tidak bisa ditinggalkan. Bahagianya seorang guru adalah ketika moral, perilaku yang baik bisa dipertahankan dan dikuatkan. Sedih tentunya kalau justru pada saatnya menjadi guru terjadi penyimpangan berbentuk demoralisasi pada figur guru.

Cerita adalah cerita. Hitam seperti larutan kopi saja.