[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488]
Awalnya, Aksara mengenal satu gadis bernama Sevanya di kelas XI MIA 2. Gadis itu cantik, punya senyum yang manis, dan gemar memakai hairpin berwarna pink.
Namun, berkat kecerobohan Rian, teman sebangkunya, Aksara jadi tahu bahwa di kelas XI MIA 2 tidak hanya ada satu Sevanya. Karena, hari itu Sevanya yang galak, senang melotot, dan gemar marah-marah datang kepadanya untuk mengembalikan kotak hadiah yang salah kirim ke lokernya.
Ada Sevanya Clareta dan Sevanya Alsava.
Aksara suka pada Sevanya Clareta, karena dia punya senyum yang indah dengan hairpin pink-nya yang manis. Namun, entah kenapa sejak kejadian salah kirim hadiah itu, Aksara lebih sering berinteraksi dengan Sevanya Alsava-yang lebih senang berbicara ketus dan apa adanya.
Bersama Sevanya Clareta, Aksara senang dan dadanya sering berdebar tidak tahu diri. Bersama Sevanya Alsava, Aksara nyaman dan bisa menjadi dirinya sendiri.
15/04/18 s.d 20/06/18
"Mungkin bukan salah kamu yang ninggalin aku, tapi ini salah aku yang terlalu jadiin kamu duniaku."
"Kamu tahu kehilangan apa yang lebih sakit dari kehilangan kamu? Iya, kehilangan diriku sendiri."
***
Tuan, surat ini kutulis ketika hatiku sudah tidak lagi bertuan.
Aku tidak tahu, apakah aku harus segera mencari pemilik sesungguhnya atau kubiarkan saja begini. Kebimbangan ini seperti kebimbangan saat melihat sebuah album lama yang telah usang dan berdebu, yang tak tahu harus dibiarkan saja tersimpan menjadi kenangan atau dibuang karena fotonya tidak bisa dilihat dengan jelas lagi. Setelah apa yang terjadi malam itu, aku seperti kehilangan arah.
"Semua manusia nggak mungkin bertindak tanpa alasan, Na. Semua orang pasti punya alasan dari setiap apa yang dia lakuin."
Kau selalu bilang kalau kau punya penjelasan atas apa yang kau lakukan. Namun, alasanmu itu tidak pernah kuduga. Sedetik saja ada di pikiranku pun tidak.
Tidak ada yang bisa kulakukan pada malam itu selain membeku, membisu, dan membiarkan air mata mengalir deras di pipiku.
"Kadang, memilih buat berhenti cari tahu itu lebih baik. Gue pikir itu lebih baik dibanding harus tahu fakta-fakta nyakitin yang susah buat diterima."
Ada beberapa yang bilang kalau kejujuran yang pahit lebih baik dibanding terus-menerus tenggelam di dalam sebuah kebohongan yang manis.
Namun, aku tidak tahu apakah aku menyesali keputusanku untuk mengetahui semuanya atau tidak. Semuanya mampu membuatku membisu.